R.L. Stine Sekolah Jerit (Goosebumps 2000 #15) Selamat Datang Di Abad Baru Dunia Horor. Goosebumps series 2000 Kedua sosok itu melayang-layang keluar dari tumpukan kostum yang penuh debu. Satu laki-laki satu perempuan. Wajah mereka wajah hantu. Kulit mereka begitu tipis hingga Jake bisa melihat tulang-belulang di baliknya. Mata mereka kuning, tenggelam dalam rongganya. Bibir mereka pecah-pecah dan berwarna ungu. “Sekarang kita bikin film,” yang perempuan berkata, lalu melayang mendekati Jake, tangannya terulur. Kedua hantu itu berdiri bersisian. “Film horor paling seram yang pernah ada!” 2000 kali lebih syereeem Alih Bahasa: Rosi L. Simamora Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6 Jakarta 10270 ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu 1 "SEHARUSNYA kita tidak kemari, Rita,” Ron berbisik. Cahaya kuning yang berasal dan senternya bergoyang-goyang menyapu karpet tua kasar di depan mereka. "Aku tahu,” Rita balas berbisik “Tapi kita kan sudah di sini. Jadi sekalian saja kita lihat-lihat.” Diguncangkannya senternya, berharap sinarnya bisa lebih terang. Rambut Rita yang hitam jatuh di matanya. Ia menyibakkannya dan bergerak lebih dekat kepada Ron. Mereka menahan napas mendengar suara deritan. Lingkaran-lingkaran cahaya menyapu dinding yang telah pecah-pecah, kemudian menyinari perabotan yang diselimuti kain-kain seprai yang telah berdebu. “Cuma bunyi rumah tua,” bisik Ron seraya menelan dengan susah payah. “Rumah-rumah tua suka begitu, kau tahu. Fondasinya suka turun sedikit sebelum akhirnya menemukan posisi yang stabil.” “Kukira itu hanya ada di film-film horor konyol,” sahut Rita. Diangkatnya pinggiran selembar seprai dan melihat lengan sebuah sofa raksasa. “Kalau saja ini cuma film,” gumam Ron, tak sanggup menghilangkan getaran dalam suaranya. Tubuhnya yang tinggi kurus bergidik ngeri. Dilepasnya topi bisbolnya dan diusapnya keningnya dengan lengan kausnya. “Kalau kau begini takut, kenapa sih kautantang aku kemari?” bentak Rita. Matanya yang hijau tampak berkilau dalam kilasan cahaya yang redup. “Siapa bilang aku menantangmu,” protes Ron. “Kan kau yang menantangku.” “Bukan. Kau yang menantangku,” Rita bersikeras. “Kau lupa, ya? Waktu itu kita berjalan pulang dari sekolah. Katamu kau sudah muak dan bosan mendengar semua orang menjuluki sekolah kita Sekolah Jerit.” “Yeah, tapi -” “Katamu semua penduduk kota menertawai kita karena kita selalu dibuat ketakutan oleh setan, monster, dan makhluk-makhluk mengerikan. Anak-anak sekolahan kita suka menjerit. Itulah sebabnya semua orang menyebut sekolah kita Sekolah Jerit. Dan -” “Iya, iya, aku memang bilang begitu,” potong Ron. “Tapi aku tidak-” “Terus katamu kau sedikit pun tidak takut pada Johnny Jerit. Katamu kau tak peduli berapa banyak anak yang telah dibunuh oleh setan kuburan jahat itu. Katamu kau akan mendobrak dan masuk ke rumahnya - rumah tempatnya mati lima puluh tahun yang lalu. Dan kautantang aku untuk pergi bersamamu.” Rita mengangkat senternya dan mengarahkannya ke wajah Ron Dibiarkannya senternya seperti itu, sampai Ron menutupi matanya dengan tangan dan berpaling. “Iya deh, iya. Aku ingat. Aku memang bilang begitu,” aku Ron. “Jadi, di sinilah kita sekarang. Di sinilah makhluk seram itu tinggal. Kita sudah mendobrak masuk. Lalu apa?” “Kau saja yang bilang,” sahut Rita seraya menyibakkan rambut hitamnya dari wajahnya lagi. “Ini kan ide hebatmu.” “Yah... “ ujar Ron ragu. Terdengar suara deritan lagi. Mereka berbalik. Tak ada siapa-siapa. “Kita sudah melakukannya,” Ron berkata pelan “Kita telah membuktikan bahwa kita tidak takut pada Johnny Jerit, ya kan?” Rita mengangguk “Sepertinya.” “Kalau begitu, yuk kita pulang.” Rita tidak memprotes. Kedua kakinya gemetaran saat ia mengikuti Ron melintasi ruangan yang gelap dan berantakan menuju pintu muka. Dalam hati ia berharap Ron tak bisa melihat betapa ketakutan dirinya. Ron mengerang pelan saat menarik kenop pintu muka. Disentakkannya kenop itu. Lebih keras. “A-ada apa?” Rita tergagap. Ia tersandung dan menabrak Ron dari belakang. “Pintunya -” erang Ron. “Pintunya... terkunci.” “Terkunci dari luar? Nggak mungkin!” teriak Rita. “Nggak mungkin terkunci. Pasti macet.” Diarahkannya senternya ke lantai. Lalu didorongnya Ron ke samping. Dan kemudian dicengkeramnya kenop pintu dengan kedua tangannya. Disentaknya kenop itu dengan segenap tenaga. Sambil menggeram ia memutar-mutar kenop kuningan itu, lalu menariknya. “Kita kan tadi masuk lewat pintu ini,” katanya, menahan napas. “Tak mungkin pintu ini terkunci.” Ron menyerahkan senternya pada Rita. Peluh mengaliri keningnya dan masuk ke matanya. Ia tidak memedulikannya dan kembali mencoba membuka pintu. “Tak ada siapa-siapa di sini. Kalau begitu siapa yang mengunci pintu ini?” “Dari mana kau tahu di sini tidak ada siapa- siapa? Mungkin Johnny Jerit. ..“ “Diam! Jangan melucu! Pokoknya keluarkan kita dari sini! Lekas!” Mereka berusaha keras membuka pintu. Napas mereka terengah-engah, kepanikan mereka bertambah setiap detik. Mereka tidak mendengar deritan papan-papan lantai di seberang ruang duduk yang gelap gulita itu. Tidak melihat sosok yang membungkuk dan melesat ke arah mereka. Tidak mendengar geraman pelan di setiap langkahnya yang berat dan lambat. "Hunnh hunnh hunnh.” Berdiri berdempetan, memutar-mutar kenop pintu, menyentaknya, Ron dan Rita tidak melihat makhluk seram itu bergerak di belakang mereka. Tidak mendengar deru udara yang dingin saat makhluk itu mengayunkan kapak ke bahunya. Dan kemudian mengangkat kapak itu ke atas kepalanya. Mereka tidak mendengar desahannya yang penuh semangat. Mereka tidak melihat seringai senang di wajah seramnya. Di belakang kedua remaja yang panik tersebut, kapak itu terangkat tinggi-tinggi. Dan mulai diturunkan “YAAAAAAIIII” Jeritan melengking terdengar dari luar ruangan. Mereka semua mendengar suara KRAK, dan kemudian BAM yang keras. Makhluk seram itu secepat kilat memutarkan tubuh. “Halll-ooo!" serunya. “Apakah ini ada dalam skenario? Kurasa tidak!” 2 "CUT! Cut!” Emory Banyon berseru marah sekali. Jake Banyon melihat ayahnya melompat dari kursi sutradaranya. Tersungkur di lantai studio, Jake bangkit dengan susah payah. Tapi ia terperangkap kursi kanvas yang tadi ambruk di bawah tubuhnya. “Ada apa, Emory?” Pemain yang memerankan Rita berseru. “Tadi itu kan bagus.” “Aku tahu, aku tahu,” tukas ayah Jake “Menurutku terlalu bagus, malah. Kalian membuat putraku ketakutan setehgah mati sampai-sampai kursinya ambruk!" Jake mendengar tawa memenuhi tempat itu. Ia mendesah. Ini tidak adil, pikirnya. Ini kan bukan salahku. Jake tahu wajahnya merah padam saking malunya. Semua orang menatapnya. Semua orang membencinya. Ia telah menghancurkan adegan yang sangat bagus dalam film baru ayahnya. Ia bisa melihat temannya, Chelsea Paige, menggeleng-gelengkan kepala. Pasti ia menganggapku idiot banget, pikirnya sedih. Lihatlah dia. Ia berpura-pura tidak mengenalku. “Kita istirahat makan siang dulu atau apa nih?” si setan kuburan berseru tidak sabaran. Dijatuhkannya kapaknya ke lantai. Benda itu memantul-mantul melintasi tempat syuting. Kapak itu ringan, terbuat dari kayu balsa. “Tidak. Kita tak punya waktu,” Emory Banyon berkata padanya “Kau mau melewatkan tiga jam untuk dirias lagi? Ayo kita mulai lagi, Carl. Setelah itu baru istirahat makan siang.” Ketiga pemain itu menggerutu. Carl, pria yang memerankan si setan kuburan, berjalan terhuyung-huyung ke tepi untuk diperbaiki riasannya. Emory membungkuk dan menarik kursi itu supaya Jake bisa bangkit berdiri. “Jake,” katanya galak, ditautkannya alis hitamnya yang tebal, “kalau kau terlalu takut untuk menonton, mungkin sebaiknya kau tunggu di luar saja.” “Tapi aku nggak takut kok!” Jake protes. “Sungguh. Aku menikmatinya Aku nggak takut, Emory!” Ayah Jake berkeras agar semua orang memanggilnya Emory. Termasuk Jake. Sebenarnya Jake lebih suka memanggilnya Dad. Tapi Emory tidak mengizinkannya. "Kau dan aku lebih akrab daripada ayah dan anak, ya kan?” Ia selalu berkata dengan suara menggelegar. “Kita itu sahabat karib! Dan sahabat karib saling memanggil nama.” "Tentu, Emory,” Jake terpaksa menyetujui. Emory tak pernah bicara dengan suara pelan - ia cuma bisa bicara dengan suara keras, seolah-olah berada di panggung opera. Dengan rambut hitam berantakannya yang tak pernah tersentuh sisir, dan suaranya yang dalam dan menggelegar, ke mana pun Emory pergi, ia selalu menarik perhatian. Berpikirnya cepat. Bicaranya cepat. Ia tak pernah berjalan - ia selalu berlari. Ia selalu tampak terburu-buru. Ia sepertinya selalu melakukan enam hal sekaligus, memberi instruksi pada selusin orang, bicara cepat di ponselnya, dan pada saat yang sama membuat beberapa catatan kecil. Kadang-kadang Jake merasa dirinya selambat kura-kura bila dibandingkan ayahnya yang sutradara film beken itu. Terkadang Jake merasa seolah-olah dirinya hidup dengan angin topan! “Tapi aku bukannya takut pada adegan tadi!” Jake kembali memprotes. “Kursi tolol itu ambruk, hingga aku terjatuh. Bukan salahku, Emory.” Emory berssst-ssst. Ditepuknya bahu Jake yang kurus. “Nggak papa kok mengakui. dirimu takut, Nak,” ia menimpali. “Adegan tadi memang seram. Jutaan orang akan menjerit-jerit melihatnya.” “Tapi aku tadi menjerit karena kursiku ambruk!” tukas Jake. Sebenarnya ia tak bermaksud mengucapkannya dengan suara melengking dan cengeng. Tapi ia tak bisa. “Aku bukannya takut, Emory. Sungguh!” Emory berpaling pada Chelsea. Cewek itu masih bertengger di kursi kanvas merahnya yang tinggi. Chelsea umurnya dua belas tahun, sama dengan Jake. Ia cantik, matanya cokelat, dan rambutnya berwarna cokelat muda campur pirang. Ia mengenakan T-shirt merah pendek, celana pendek khaki baggy, dan kurang-lebih selusin gelang plastik yang meluncur naik-turun di tangan kanannya. Ayah Chelsea juga bekerja di dunia film. Tapi Jake tidak begitu tahu apa yang dilakukannya. Pokoknya ada hubungannya dengan film. Jake cuma tahu Chelsea boleh memanggil ayahnya Dad. Dan Mr. Paige tidak membuat film-film horor. Jadi ia tidak pernah menuduh Chelsea penakut. “Chelsea, di sana ada satu ton makanan,” Emory berkata seraya menudingkan telunjuknya ke pintu studio. “Segala macam sandwich dan salad. Ajaklah Jake ke sana melihat-lihat.” Ia tak menunggu tanggapan Chelsea. Dan malah menatap Jake dengan kening berkerut. Kemudian ia kembali memperhatikan seting dan berteriak, "Ambil. posisi! Ayo, ayo. Kita nyaris berhasil. Lampu. Matikan lampu-lampu itu. Tenang, semuanya. Ayo kita mulai.” Jake membuntuti Chelsea keluar studio dan menuju koridor. Ia tidak menyukai senyum di wajah cewek itu. Apakah Chelsea masih menertawainya? “Tadi itu bukan salahku,” ia memberitahu Chelsea. "Kursi itu ambruk begitu saja. Jadi, jangan ketawa!” Chelsea tertawa juga. “Sori. Habis, lucu sih. Seharusnya yang seperti itu cuma ada di film.” “Ha-ha,” timpal Jake pahit. Mereka berhenti di depan meja-meja penuh makanan. Ekspresi Chelsea berubah serius. Tatapannya melembut, sorot matanya hangat dan penuh simpati. Itulah yang disukai Jake pada diri Chelsea. Cewek itu baik hati. Ia bukannya cuma ingin menunjukkan padamu seberapa hebatnya dia dibandingkan dirimu. Banyak anak di Hollywood terlalu senang bersaing. “Jadi, seburuk itukah punya ayah terkenal?” ia bertanya. “Apakah tak ada segi positifnya menjadi anak si Raja Horor?” “Kayaknya sih nggak ada,” erang Jake. Diangkatnya setengah potong sandwich ayam dan dijatuhkannya ke piring kertasnya. Ia berpikir keras. “Yah... .aku bisa nonton gratis. Itu lumayan asyik,”ia mengakui. “Tapi hampir semua anak di sekolah kita juga bisa nonton gratis,” Jake menambahkan. “Jadi kurasa itu nggak ada artinya.” Ia berpikir lagi. “Orang-orang beken selalu berdatangan ke rumah kami. Itu cukup keren.” Dijatuhkannya segenggam kenipik nacho ke piringnya. “Tapi susahnya setiap orang selalu menanyakan pertanyaan yang sama 'Apakah film-film ayahmu membuatmu takut? Apakah film-film ayahmu membuatmu takut?' Selalu begitu. Pertanyaan tolol yang sama.” Chelsea mengunyah sebatang wortel. “Bolehkah aku menanyakan sesuatu?” ia bertanya. “Yeah. Apa?” tanya Jake “Apakah film-film ayahmu membuatmu takut?” Tawa Chelsea meledak Jake memukul lengan cewek itu. Lalu mengangkat kedua tangannya ke leher Chelsea dan berpura-pura mencekiknya. Masih sambil tertawa, Chelsea berusaha memasukkan wortelnya ke hidung Jake. “Pertanyaannya bagus kok,” Chelsea bersikeras. “Maksudku, apa lagi yang bakal ditanyakan orang padamu? Ayahmu kan si Raja Horor. Jadi..." “Aku ini sama menakutkannya dengan dia.” Jake berkata “Tapi dia tidak percaya padaku. Dikiranya aku selalu saja ketakutan. Kau tahu kenapa ia mengajakku ke studio ini? Dia ingin menunjukkan padaku bahwa horor hanya rekaan. Dia ingin mengajariku untuk tidak takut.” Jake mendesah. “Tapi aku tidak takut!” teriaknya. “Tidak! Tak ada yang bisa membuatku takut!” Sebuah tepukan mendarat di bahu Jake. Ia memutarkan tubuh. Matanya membeliak. Dibukanya mulutnya, lalu menjerit ngeri. 3 JAKE dan Chelsea terperangah menatap Johnny Jerit, setan zombie paling beken sepanjang sejarah. Sebagai bintang film-film Sekolah Jerit buatan Emory Banyon, wajah mengerikan Johnny Jerit jadi dikenal di seluruh dunia. Dengan tinggi dua meter lebih, kurus kering seperti tengkorak, Johnny Jerit balas menatap Jake dan Chelsea dengan sepasang mata keperakannya yang dingin. Seolah-olah ditiup angin, rambutnya yang tebal hitam tersapu ke belakang membingkai wajahnya yang sudah rusak dan busuk. Seringainya menampakkan sederetan gigi kuning yang tajam. Segumpal daging terkelupas dari pipi kirinya. Tulang yang berwarna kelabu mengintip dari baliknya. Johnny memindahkan tangannya yang kurus kering dari bahu Jake. Kuku-kuku jemarinya yang kuning-kuning melengkung seperti cakar burung kenari. “Hei, Jake - aku tak bermaksud menakutimu,” Johnny Jerit berkata. Suaranya, anehnya normal, enak dan lembut didengar. “Cuma kepingin menyapamu.” “A-aku nggak takut,” Jake tergagap, wajahnya terasa panas. Ia kembali merah padam. Kenapa sih wajahnya cepat sekali merah padam? Benar-benar memalukan. Chelsea memandangnya dengan mata disipitkan. “Benar kau tidak takut?” godanya. “Tadi kau menjerit keras sekali.” “Aku tahu,” kata Jake “Aku sedang mempraktekkan Jeritan Resmi Johnny Jerit.” Seringai bibir-hitam merekah di wajah Johnny Jerit. Chelsea menatap Jake dengan kening berkerut. “Yeah Pasti,” gumamnya. “Betul. Sungguh,” tekan Jake “Itu tadi Jeritan Resmi Klub Penggemar. Semua orang melakukannya - di bioskop saat Johnny Jerit muncul.” Jake balas menatap Chelsea dengan kening berkerut. “Kau tidak sungguh-sungguh rnenganggapku takut - ya kan? Maksudku, Johnny Jerit suka datang ke rumahku. Aku telah mengenalnya sejak bayi.” Chelsea memutar matanya yang besar dan cokelat. "Iya deh, kau nggak takut. Seolah-olah aku bakal percaya apa saja.” Johnny Jerit mengambil beberapa potong sandwich. "Aku harus kembali atau ayahmu akan membunuhku. Kau lihat sandwich sapi panggang, nggak?” ia bertanya pada Jake “Bisa kauambilkan satu untukku? Tahu nggak betapa sulitnya makan dengan kuku-kuku jemari yang melengkung konyol seperti ini?” *** Setelah syuting hari itu selesai, Emory membawa Jake dan Chelsea ke mansion keluarga Banyon yang letaknya di Beverly Hills. Jake suka sekali memamerkan Mercedes hitam ayahnya yang besar. “Ya, hebat. Ayahku juga punya mobil seperti itu,” ujar Chelsea. “Tapi aku lebih suka VW kodok baru kami yang mungil. Imut banget sih!” Jake mengundang Chelsea ikut makan malam. Namun waktu percakapan makan malam dimulai, ia menyesal telah mengundang cewek itu. “Apa menu malam ini, Vicky?” Emory bertanya pada istrinya seraya mencium pipinya. Ibu Jake mirip burung pipit kecil, wajahnya lancip tapi cantik, dengan rambut pirang pendek dan licin yang diselang-seling helai-helai berwarna platinum, dan sepasang mata biru kecil bulat yang menyorotkan sinar laser. Dulu ia seorang model. Ia pernah muncul di beberapa iklan TV sebelum Jake lahir. Tapi waktu film-film Emory jadi ngetop dan ia dikenal sebagai Raja Horor, ibu Jake menghentikan kariernya. “Kita akan makan seafood dan salad kentang bikinan restoran,” Vicki Banyon mengumumkan. “Malam ini aku tidak sempat masak.” “Wah, wah, seafood untuk si fenakut, bukan begitu, Jake?” ejek Emory seraya tertawa. “Yuk kita makan.” Jake menarik Chelsea ke ruang makan sebelum ayahnya mengucapkan lelucon konyol lagi. Semua duduk dan mengedarkan wadah seafood dan salad kentangnya. “Bagaimana di studio tadi?” ibu Jake bertanya pada putranya. “Lumayan,” sahut Jake. “Aku sangat menikmatinya,” timpal Chelsea seraya menguliti udangnya. Emory tertawa geli. “Semuanya berjalan baik - sampai Jake mengacaukannya.” Ibu Jake mengalihkan mata lasernya pada Jake. “Aku tidak mengacaukannya” protes Jake. “Kurasa adegan itu bagus sekali,” Emory melanjutkan sambil nyengir “Jake begitu ketakutan sampai terjatuh dari kursinya!” “Bukan begitu” teriak Jake melengking. Ia melompat berdiri dengan marah. “Itu tidak benar!” Chelsea tertawa. Bukankah cewek itu seharusnya menjadi temannya? “Jake, duduklah,” ibunya berkata lembut “Di mana sih selera humormu?” Sambil cemberut, Jake melemparkan tubuhnya ke kursi. “Nggak papa kok merasa takut,” Emory berkata, mengaduk-aduk wadah seafood dan menyendokkan sepotong cumi. “Hampir semua orang senang merasa takut - untunglah.” “Tapi aku tidak takut -” Jake mulai berkata lagi. Emory mendorong wadah seafood ke depan Jake ini. "Ambil seafood-nya.” Jake mengulurkan kedua tangannya dan menarik wadah itu. “Aku senang bertemu Johnny Jerit,” Chelsea berkata. “Kayaknya dia cool banget.” “Dan juga berbakat,” timpal Emory, matanya menatap Jake. Jake memiringkan wadah seafood itu ke arahnya. Lalu mulai mengintip isinya. Dan terkesiap saat melihat biji mata itu menatap ke arahnya. Biji mata basah berwarna kekuningan dengan urat-urat merah menghiasi permukaannya. Tawa Emory meledak. Dengan gembira dipukulnya meja dengan kedua tangannya. “Kena kau!” gelegarnya. “Emory -” ujar Jake . “Kalian lihat ekspresinya?” teriak Emory. “Dia ketakutan setengah mati!” Chelsea tertawa Mrs. Banyon menggeleng-gelengkan kepala. “Emory, a-aku tidak takut,” Jake berkata gugup. “Kau sudah seratus kali menggunakan trik biji mata konyol ini.” Emory melemparkan kepalanya ke belakang, lalu tertawa keras. Jake memungut biji mata itu dan mengancam akan melemparkannya kepada ayahnya. Ibu Jake merampas biji mata kaca itu dari tangan Jake. Dipelototinya suaminya. “Emory, kenapa sih kau selalu saja mencoba menakut-nakuti Jake?” bentaknya tajam “Kenapa kau melakukannya? Hanya untuk membuktikan dirimu Si Raja Horor?” Emory menghentikan tawanya. Ekspresinya berubah serius. “Bukan itu alasannya. Tentu saja bukan,” ia menekankan. “Lalu kenapa?” Ibu Jake bertanya. “Aku ingin Jake bisa mengaku bila dirinya merasa takut,” jawab Emory “Tidak baik melakukan apa yang selalu dilakukannya. Tidak baik menahan perasaanmu yang sesungguhnya.” “Tapi aku tidak menahan perasaanku” Jake bersikeras. Dikepalkannya tangannya erat-erat. “Tidak! Tidak Aku tidak menahan perasaanku!” “Kau tahu apa yang membuatku takut?” Chelsea ikut menimbrung. “Kenyataan bahwa aku tak pernah takut. Aku tidak takut gelap. Atau film seram. Atau mimpi buruk. Atau apa pun. Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah itu normal.” “Ayo, kita ganti bahan pembicaraan,” Mrs. Banyon berkata melihat Jake cemberut dan marah. “Yuk kita bicara mengenai the Dodgers. Kau akan menonton pertandingan mereka Sabtu ini, ya kan, Jake?" Jake mengangguk, tapi tidak menyahut. Ia sedang berpikir. Berpikir keras. Bagaimana aku bisa membuktikan pada ayahku bahwa aku tidak takut? Ia bertanya pada dirinya. Ditatapnya ke seberang meja, ke arah Emory yang dengan laparnya menyumpalkan seafood ke mulutnya. Aku tahu, pikirnya. Akan kubuktikan bahwa aku sama menakutkannya seperti dirinya. Tapi bagaimana caranya? 4 JACK mendribel bola basket itu melewati temannya, Carlos Manza. Didorongnya Carlos sedikit ketika melewatinya. Lalu bergerak ke ring basket untuk melakukan lay-up yang mudah. (Lay-up: tembakan melayang, salah satu teknik memasukkan bola ke dalam jaring dalam permainan bola basket-editor) Meleset. Bolanya memantul di papan dan mendarat tepat di tangan Carlos. Carlos tertawa. “Tembakan jitu.” “Itu baru pemanasan,” elak Jake. Carlos mendribel ke tengah lapangan, kemudian mengangkat bola dan melemparkannya ke arah ring. Meleset dari ring. Meleset dari papan pantul. Meleset dari semuanya. Mereka menyaksikan bola itu memantul-mantul melintasi halaman menuju kolam renang keluarga Banyon. “Itu juga baru pemanasan,” kata Carlos, tertawa. Carlos lebih pendek daripada Jake, namun tubuhnya besar dan bertampang atlet. Rambutnya hitam dan pendek, ditipiskan di kanan-kirinya, dan berdiri tegak di bagian atasnya. Matanya yang hitam berkerut di sudut-sudutnya, hingga ia sepertinya selalu menertawai sesuatu. Ia mengenakan celana pendek baggy dengan Tshirt merah kebesaran yang panjangnya nyaris selutut. Sepatu basketnya baru, dengan potongan tinggi menutupi mata kaki. Sepatunya berkilauan di bawah cahaya matahari. Jake mengambil bola. Mengecoh ke arah yang satu. Mengecoh ke arah yang lain. Mulai mendribel ke tengah lapangan - dan Carlos merebut bola dari tangannya. Mereka tengah bermain satu lawan satu di halaman belakang rumah Jake, di lapangan tenis yang telah diubah Emory menjadi lapangan basket. Emory menceritakan pada semua orang tentang bagaimana ia tumbuh di jalanan di New York, bermain bola basket. Ia dan Jake hampir selalu bermain di lapangan belakang. Bila bermain dengan ayahnya, Jake harus cepat - dan waspada. Soalnya Emory bermain untuk menang. Saking ngototnya, di tengah permainan ia bisa saja mendorong Jake hingga jatuh ke tanah atau berlari ke arahnya untuk merebut tembakan terakhir. Keduanya selalu bertahan seperti itu sampai benar-benar kelelahan dan mandi keringat. Bermain lawan Carlos jauh lebih rileks. Terutama karena Carlos orang yang menyenangkan dan santai. Dan mereka berdua memiliki kemampuan yang kurang lebih sama, yaitu tidak bagus-bagus amat. “Kau akan ke rumahku untuk makan malam, ya kan?” tanya Carlos sambil mendribel bola di garis tembakan bebas. “Yeah. Terus kita nonton film?” tanya Jake, sambil membungkuk untuk mengatur napas. Carlos mengangguk. Lalu melemparkan tembakan bebasnya. Bolanya berdesir masuk ke ring. Jake suka sekali bertandang ke rumah Carlos. Orangtua temannya itu punya teater pribadi lengkap dengan proyektor film dan layar berukuran besar. Dan mereka memiliki koleksi film horor kuno yang menakjubkan. Carlos dan Jake suka menonton film-film horor kiasik hitam-putih, seperti: Bride of Frankenstein, The Wolf Man, The Invisible Man. Setiap kali menonton keduanya berteriak sekeras-kerasnya, walaupun film-film kuno itu tampak konyol untuk zaman sekarang. Suatu hari, Jake mengatakan pada ayahnya bahwa ia sangat menyukai film-film horor kuno. “Barang antik yang bagus,” sahut Emory. “Kalau kau sampai ketakutan saat menontonnya, ingat saja itu semua hanya film.” Jake mendribel bola melewati Carlos. Carlos berusaha merebutnya, namun gagal. Jake bersiap-siap menembakkan bola. “Hai, Jake -” Terdengar suara dari jalan setapak. Jake menoleh. Tembakannya meleset. Bolanya mengenai bibir ring dan memantul keluar. Chelsea berlari ke arah mereka, rambutnya yang cokelat terang berkibaran di belakangnya. Ia mengenakan pakaian tenis warna putih dan membawa raket tenis. “Kalian sedang apa?” tanyanya. “Merajut sweter,” jawab Jake. Ia masih marah karena cewek itu telah menertawainya waktu makan malam semalam. “Memangnya kelihatannya kami sedang ngapain?" Chelsea pura-pura memukul kepala Jake dengan raket tenisnya. “Maksudku, kalian sedang bermain sungguhan atau cuma iseng?” “Dua-duanya,” jawab Carlos nyengir. “Mau ikut main? Bagaimana kalau Jake dan aku lawan kau?” “Enak saja,” jawab Chelsea. Diletakkannya raket tenisnya di rumput di pinggir lapangan “Basket bukan olahragaku. Aku tidak menyukainya.” “Baiklah. Kau dan Jake lawan aku,” Carlos memberi pilihan. “Akan kucoba berbaik hati pada kalian.” Mereka memulai permainan. Chelsea mencoba mendribel bola melewati Carlos, yang bergerak-gerak di hadapannya, melambai-lambaikan kedua tangannya di depan wajah cewek itu. "Oper bolanya! Oper!” teriak Jake. Chelsea membawa bola ke arah ring. Menembak dan mencetak skor. "Ah tembakan beruntung,” gumam Carlos. Ia membawa bola keluar lapangan. Mulai mendribel, bergerak ke satu sisi, kemudian ke sisi lain. Permainan kakinya gaya sekali. Pamer di depan Chelsea, pikir Jake. Chelsea bergerak ke depan Carlos - dan merebut bola dari tangannya. Ia membawa bola, mundur ke belakang garis tengah lapangan, lalu bergerak maju. “Oper! Ke sini!” seru Jake sambil melambai-lambaikan tangan di atas kepalanya. “Aku bebas!” Chelsea tidak mengacuhkannya dan melancarkan layup dengan dua tangan. Masuk! “Empat-kosong,” katanya pada Carlos. “Hei - aku ini ikut main atau tidak sih?” keluh Jake. “Tahu nggak apa yang dilakukan Jake di tempat syuting film ayahnya?” Chelsea bertanya pada Carlos. Dilemparkanriya tatapan jail dan jahat pada Jake. “Tidak. Apa?” tanya Cados sambil mendribel di tempat. “Tutup mulutmu, Chelsea!” bentak Jake. “Pokoknya tutup mulut” “Apa sih yang dilakukannya?” Carlos bertanya, sambil nyengir pada Chelsea. Chelsea membuka mulut untuk menjawab. Namun tubuh mereka langsung kaku waktu mendengar geraman yang keras. Dan melihat anjing rottweiler hitam yang sangat besar berlari menuju lapangan. (Rottweiler: anjing bertubuh besar, berotot, besar dan kuat. Kepalanya lebar dengan dahi yang bulat. Hidung lebar dan berwarna hitam. Bibir berwarna hitam.) Bola basket terlepas dari tangan Carlos dan menggelinding pergi. “Oh, tidak... aku tahu anjing ini,” erang Jake, seraya menjauh. Menggonggong galak, anjing besar itu menundukkan kepala, bersiap-siap menyerang. “Jangan, Dukie! Jangan!” pinta Jake. Diangkatnya kedua tangannya, berusaha melindungi dirinya. "Dukie - tenang! Tenang!” Anjing itu membuka rahangnya dan menggeram penuh ancaman. "Oh... tolong” teriak Jake saat anjing itu mengangkat kedua kaki depannya. Lalu melompat ke arah Jake hingga anak itu jatuh ke tanah. Kemudian ia menundukkan kepalanya yang besar untuk menyerang. 5 "DUKIE - jangan! Jangaaaann!” lolong Jake. Namun anjing itu berdiri di atas tubuh Jake, kedua kaki depannya menekan bahu Jake ke tanah. Ia menundukkan kepala. Lalu mulai menjilati Jake. Terus menjilatinya... “Dukie - stop! Dukie!” erang Jake. Anjing itu menjilati wajah Jake... menjilati lehernya. Ekornya yang pendek gemuk bergoyang-goyang penuh semangat. Dalam beberapa detik, pipi dan leher Jake telah berkilauan dengan ludah anjing. “Seret dia pergi” Jake memohon pada teman-temannya. “Dia selalu begini padaku, Dikiranya dia masih kecil. Auwwww! Padahal beratnya satu ton! Dukie - kau membuatku remuk!” Chelsea dan Carlos hanya memandangi dengan pasrah. Dukie akhirnya capek memandikan Jake dengan lidahnya. Ia mundur, terengah-engah, ekornya berputar-putar seperti baling-baling. Jake melihat ayahnya berlari melintasi halaman. “Emory?” Dukie meloncat menyambut Mr. Banyon. Ia menjulurkan lidahnya sambil berlari. Emory menepuk-nepuk kepala Dukie, lalu berongkok di sebelah Jake. “Kau baik-baik saja?” ia bertanya. Jake bangkit duduk. Dengan punggung tangan diusapnya air liur lengket anjing itu dari pipinya. "Yeah. Aku baik-baik saja kok.” Wajah Emory tampak prihatin. Diletakkannya tangannya di bahu Jake. “Jake - kenapa kau tidak pernah memberitahuku bahwa kau takut anjing?” Jake menatap ayahnya dengan mata disipitkan. " Apa?” "Tak kusangka,” Emory melanjutkan seraya mengeleng-gelengkan kepala. “Tapi jangan khawatir. Kita bisa mengatasi masalah itu.” "Masalah? Masalah apa?” seru Jake. Chelsea dan Carlos mengawasi dari lapangan basket. Carlos memungut bola dan melempar-lemparnya dari satu tangan ke tangan yang lain. "Pertama-tama adalah mengakuinya,” Emory memberitahu Jake. “Akuilah bahwa kau takut pada anjing. Begitu kau menyadari dirimu punya masalah, kita bisa -” "Tapi aku tidak punya masalah” protes Jake. " Emory, aku cuma -” "Aku melihat semuanya, Jake,” tukas Emory, lagi-lagi menepuk bahu Jake. “Dukie memang lumayan seram,” Chelsea menimbrung. “Nggak juga!” teriak Jake marah. “Aku sudah mengenalnya sejak dia masih kecil. Dan dia hanya suka bercanda, itu saja.” Emory bangkit berdiri. Ia mengulurkan tangan dan menarik Jake. “Tahu, nggak? Akan kuberikan seekor anjing untukmu, Jake. Ulang tahunmu kan tinggal sebentar lag.i Akan kubelikan seekor anjing untuk hadiah ulang tahunmu. Itu akan membantumu mengatasi masalah-masalahmu.” “Tapi, Emory - kalau saja kau mau mendengarku..." “Dengan punya anjing sendiri akan membantumu mengatasi rasa takutmu.” Terdengar dering telepon. Emory mengeluarkan ponselnya dan saku celana khaki-nya. Dibukanya ponselnya dan mulai bicara sambil berjalan kembali ke rumah. Jake berbalik ke teman-temannya. Chelsea dan Carlos nyengir lebar menatapnya. “Hati-hati, Jake - ada kucing tetangga di sebelah sana lho,” Carlos berkata seraya menuding. “Kami akan melindungimu,” goda Chelsea. “Jangan takut. Kami takkan membiarkan binatang itu menangkapmu.” Sambil tertawa mengejek, mereka ber-high five. Jake mengeluarkan seruan marah dan frustrasi. Direbutnya bola basket itu - lalu dilemparkannya setinggi dan sekuat ia dapat. Mereka bertiga mengawasi bola itu melayang tinggi di langit, mental sekali di rumput, dan kemudian masuk ke dalam kolam renang. "Tembakan bagus,” gumam Carlos. Jake hanya menggeram. *** Malam itu Jake meninggalkan rumah Carlos dan mulai berjalan pulang. Malam itu terang dan hangat. Jutaan bintang berkelap-kelip di atas kepala. Cahaya bulan purnama membuat halaman-halaman berumput Beverly Hills yang terpangkas rapi berkilauan seperti perak. Jake menyeberangi jalan dan masuk ke blok berikutnya. Rumah-rumah nyaris gelap. Lampu-lampu jalanan menyorotkan cahaya kuning, membuat bayangannya terentang panjang di depannya. Angin yang hangat menerpanya saat ia berjalan. Pagar-pagar tanaman yang rendah di sepanjang jalan berdesir tertiup angin. Sebuah suara di atas dahan pohon membuatJlake menengadahkan kepala. Burungkah itu? Atau kucing? Ia tak bisa melihatnya Ia terkejut saat mendapati bintang-bintang telah lenyap dari langit. Dilihatnya segumpal awan hitam menyelinap cepat ke atas bulan. Jalanan semakin gelap. Bayangan Jake lenyap ke dalam kegelapan yang semakin pekat. Sekarang gelap gulita. Tiba-tiba segalanya begitu kelam. Gelap yang seram. Ia menyeberangi jalan dan masuk ke dalam kabut yang hitam dan lembap. Sesuatu yang berwarna hijau bercahaya di dalam kegelapan. Kabut hijau yang bentuknya seperti ular yang melingkar-lingkar melayang-layang rendah di atas tanah, berputar-putar di sekelthng pergelangan kaki Jake. Kabut hijau yang tebal berputar-putar di sekelilingnya, menyirami sekujur tubuhnya. Dengan amat diam-diam melayang-layang mengitarinya, seolah-olah menariknya masuk. Mencengkeramnya di dalam cahaya hijaunya. Terus mencengkeramnya... menekannya dengan tangan-tangan kabut yang lembap... menjeratnya. “Hei -” Jake mengeluarkan seruan tercekik. Ia maju selangkah lagi. Kakinya tiba-tiba terasa seberat timah. “Hei -” Rumahnya tinggal dua blok dari situ. Kenapa sekarang ia tidak dapat melihat rumahnya? Apa yang terjadi pada cahaya lampu-lampu jalanan itu? Ia mendengar suara keresak dari balik pagar tanaman. Lalu langkah kaki. "Hei-" Kenapa ia tak bisa melihat pagar tanaman itu? Kabut hijau itu membungkusnya, mempererat cengkeramannya, begitu hangat, begitu lembap. Ia tak bisa melihat. Tak bisa melihat apa-apa. “Hei - hei - apa yang terjadi?" 6 JAKE mendengar langkah-langkah cepat dari balik pagar tanaman. Suara keresak panik seolah-olah binatang-binatang kecil berlari tergesa-gesa di atas dedaunan. "Aku tak bisa melihat apa-apa,” gumamnya. Dan kemudian kabut hijau yang tebal itu tampak tersibak. Dan sesosok makhluk muncul cepat di depannya. Sesosok makhluk yang terdiri atas bayangan-bayangan biru. yang berkilauan. Begitu tinggi dan kurus... lebih tinggi dari manusia. Dan kemudian dari balik bayangan-bayangan ..itu nampak seraut wajah. Wajah angker yang sudah busuk dan rusak. Jake menjerit saking syoknya. “Johnny Jerit!” Mata Johnny yang berwarna perak menatap Jake. Mata itu bersinar hijau, memantulkan kbut di depannya. Bibirnya yang hitam melengkung membentuk senyuman dingin. Ia merentangkan tangannya yang kurus kering seolah-olah mencoba menghadang jalan Jake. “A-apa yang kaulakukan di sini?” Jake tergagap. “Aku mau pulang, dan kabut aneh ini muncul, dan-” “Kau tak boleh pulang,” Johnny Jerit berbisik parau. Kuku-kuku jemarinya yang melengkung berkeretak di dalam kepalan tangannya. “Maaf?” Jake menengadah menatap setan kuburan raksasa itu. Kabut hijau berputar-putar mengelilingi mereka berdua, panas dan lembap. Jalanan sunyi senyap... tak ada mobil... tak ada suara... tak ada desir angin di pepohonan. Jake dapat mendengar suara napasnya yang cepat, mendengar detak-detak jantungnya sendiri. “Kau tak boleh pulang, Jake,” ulang Johnny Jerit, matanya yang perak begitu dingin dan mati. “Johnny - kau mencoba membuatku takut, ya?” Jake bertanya. Suaranya kedengarannya kecil sekali, teredam oleh kabut yang tebal. Setelan hitam Johnny Jerit, ditambal-tambal, compang-camping, dan kebesaran, berkibaran di tengah kabut yang berputar-putar, menimbulkan suara kepakan - seperti bendera yang berkibaran ditiup angin. Atau sayap kelelawar. Matanya yang berwarna perak tak sekali pun mengedip. Senyum setan kuburan itu menampakkan dua baris gigi yang tajam-tajam. Seperti paku-paku tajam. Diketuk-ketukkannya kuku-kuku tangannya satu sama lain dengan irama pelan dan tetap. TUK-TUK TUK-TUK... cuma itu yang terdengar sekarang, selain suara napas Jake yang pendek-pendek. “Johnny - kenapa kau mencoba menakut-nakutiku ” desak Jake. Ia mencoba mundur selangkah ke belakang. Namun kabut itu mencengkeramnya. Mendorongnya. Menusuk-nusuk kulit tengkuknya. “Aku nyata, Jake,” setan kuburan itu berbisik. Tulang pipi di balik kulitnya berpendar hijau. “Apa? Apa katamu?” “Aku ini nyata, Jake. Aku tak bisa membiarkanmu pulang.” “Johnny, aku kenal kau,” Jake ngotot, tak sanggup melenyapkan getaran dalam suaranya. “Aku tahu kau cuma tokoh film. Kau cuma ada di film-film ayahku.” “Aku tidak dalam film sekarang,” sahut setan kuburan itu dingin. "Tapi kau tidak nyata!” sergah Jake. “Semua ini hanya makeup, Johnny. Aku tahu semua ini cuma makeup!” Sambil berteriak marah Jake mengulurkan kedua tangannya - dan memegang wajah Johnny Jerit. "Semuanya makeup!” teriak Jake. Dan mencoba menarik penutup kulit wajah Johnny Jerit. Mencoba menarik topeng jelek dan wajah asli sang aktor. "Oh!” Jake menahan napas saat tangannya terulur wajah Johnny. Kulitnya lembek dan lengket seperti sirup kental. Jake mencoba menarik jemarinya Tapi jemarinya lengket dalam kulit lembek itu. Ia meregangkan kulit lembek itu, seperti gula-gula, seperti permen karet... Jake menarik tangannya - dan kulit yang lengket dan menjijikkan itu tetap melekat di jarinya. Aku lengket! Ia tersadar. Lengket di wajah setan kuburan ini. Mata Johnny Jerit bersinar-sinar seperti dua cahaya lampu. Senyum di bibirnya yang hitam muncul, merekah... terus merekah... Dan Jake, menarik tangannya... menarik... berjuang melepaskan tangannya dari kulit yang elastis itu, membuka mulut dan menjerit ngeri. 7 BERSAMAAN dengan hilangnya jeritannya, kabut itu pun lenyap, meninggalkan kegelapan yang berkilauan. Jake mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia tak bisa melihat setan kuburan yang menyeringai itu lagi. Sekujur tubuhnya gemetaran. Amat gemetaran. Ia kembali mengerjap-ngerjapkan mata - lalu melihat ayahnya. Di atas sepasang matanya yang hitam dan mengantuk, alis tebal Emory bergerak-gerak seperti dua cacing gendut. Jake tersadar ayahnya mencengkeram bahunya dan mengguncang-guncangnya. Membangunkannya dari mimpinya "Bangunlah, Jake. Kau mimpi buruk” Suara normal Emory yang menggelegar seperti tercekat. Ia mengenakan bawahan piama berpipa lebar dan bergaris-garis. Dadanya yang telanjang, yang diselimuti bulu hitam yang tebal, menjulang di atas Jake. "Mimpi buruk,” ulang Emory. Perlahan-lahan Jake bangkit duduk. Ia mengangkat kedua tangannya dan menatap jemarinya, seolah-olah mengharapkannya lengket karena tadi dipakai memegang wajah Johnny Jerit. “Wow,” Jake bergumam. “Wow.” “Kau tidak apa-apa,” Emory berkata menenangkan, dilepaskannya bahu Jake. “Tapi teriakanmu tadi lumayan juga. Kau mungkin sudah membangunkan setengah Beverly Hills.” “Mimpi tadi cukup seram,” Jake mengakui. “Aku bermimpi tentang Johnny Jerit. Dia tak mau membiarkanku pulang, dan-” “Kalau begitu filmku memang membuatmu takut!” Emory berseru penuh kemenangan. Ia melompat berdiri dan menyatukan kedua telapak tangannya. “Yah...“ Jake membersihkan tenggorokannya. Kamarnya ber-AC,tapi piamanya basah kuyup oleh keringat. “Baguslah kau akhirnya bisa mengakuinya, Jake,” ujar Emory gembira. “Tidakkah kau merasa sejuta kali lebih baik dengan mengakui bahwa kau takut?” Jake mengerang “Emory, itu cuma mimpi buruk yang konyol. Semua orang juga suka bermimpi buruk.” “Aku tahu betapa sulitnya menjadi anak si Raja Horor, Jake,” Emory berkata seraya menggaruk dadanya yang telanjang. “Tapi kalau saja kau bisa menghadapi ketakutanmu... itulah langkah awalnya.” “Tapi, Emory-” Senyum merekah di wajah Emory. Ia kembali meremas bahu Jake. “Aku bangga padamu. Sangat bangga.” "Tapi aku tidak takut pada film-filmmu!” Jake menjerit. “Dengar! Aku tidak takut!” Emory menggerakkan kedua tangannya supaya Jake tenang. “Sssttt. Ayo tidur lagi. Kau baru saja mengalami malam yang buruk.” Ia berbalik dan berjalan keluar dari kamar. "Tapi, Emory - aku suka film seram,” Jake berseru di belakangnya. “Aku selalu nonton film seram.” Ayahnya seolah tak mendengar seruannya. Ia melangkah keluar ke kondor tanpa berpaling lagi dan lenyap masuk ke kamarnya sendiri. Ia hanya mendengar apa yang ingin didengarnya, Jake berpikir pedih. Emory begitu gembira karena aku bermimpi buruk tentang Johnny Jerit. Bagaimana aku bisa memubuktikan padanya bahwa aku tidak takut? Bahwa aku sama beraninya dengan dirinya? Dari balik dinding ia dapat mendengar orangtuanya berbicara di kamar mereka. Mereka mungkin membicarakan diriku, Jake berpikir seraya mendesah. Emory mungkin sedang memberitahu Mom bahwa aku akhirnya mengakui betapa penakutnya diriku. Bahwa aku akhirnya mengaku takut menonton film Sekolah Jerit. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kapankah aku bakal dapat kesempatan untuk membuktikan pada Emory bahwa aku tidak takut? Kapan? *** Keesokan paginya, Jake mendapat kesempatan itu. 8 CHELSEA mampir keesokan paginya. Ia menyelinap lewat pintu dapur saat Jake tengah menghabiskan Frosted Flakes-nya. Chelsea mengenakan atasan ketat putih dan celana pendek baggy biru pucat. Sandal plastiknya yang berwarna biru berdetak-detak di atas lantai. Ia duduk di seberang Jake dan menuangkan segelas jus jeruk untuk dirinya sendiri. “Mmmpf mmmpf,” Jake menggumam dengan mulut penuh sereal. “Mom pergi ke Westwood pagi ini,” Chelsea melaporkan. “Kita bisa pergi dengannya dan - kau tahu - cuci mata. Mungkin mengelilingi kampus UCLA?” (UCLA: Universitas California, Los Angeles) Jake membuka mulut untuk menjawab. Tapi Emory tiba-tiba menyerbu masuk ke dalam ruangan itu sambil berbicara keras ke ponselnya. Ia mengenakan T-shirt merah tanpa lengan dan celana pendek khaki yang kusut. Rambut hitamnya yang tidak disisir tampak semakin awut-awutan, berdiri tegak di sekeliling kepalanya. Ia menurunkan ponselnya dari mulut untuk bicara pada Jake dan Chelsea. “Kalian mau ikut main di film? Aku butuh beberapa figuran pagi ini.” Jake dan Chelsea berpandang-pandangan. “Apa yang harus kami lakukan?” Jake bertanya. “Bukan sesuatu yang seram,” sahut Emory. “Cuma adegan di kelas. Aku butuh pemain figuran untuk mengisi bangku-bangku kelas itu. Kalian hanya perlu duduk di kelas mengikuti pelajaran kesenian, itu saja.” “Wow, asyik!” seru Chelsea. Jake setuju. “Baiklah. Kami ikut!” *** Dalam perjalanan ke studio, Emory menjelaskan adegan itu lebih mendetail lagi. Adegan ini mengambil tempat di kelas kesenian Sekolah Jerit. Seorang anak cowok terkunci di lemari perlengkapan di belakang kelas. Anak-anak lain ribut sekali hingga tak ada yang mendengar anak tadi menggedor-gedor pintu, berusaha keluar. Semua anak sedang mengerjakan proyek seni. Tiba-tiba, seorang anak cowok berteriak, 'Hei - lihat karyaku ini!’ Semua anak mendongak. Dan melihat banyak sekali ular besar - yang beracun - menjalar-jalar di seluruh permukaan meja anak itu. "Anak-anak itu mengedarkan pandang. Ular di mana-mana. Di meja, di lantai, di bak cuci. Ular-ular menjalar menaiki dinding. Semua anak panik. Mereka mulai menjerit dan berlarian ke mana-mana. “Anak yang terkurung tadi akhirnya berhasil keluar dari lemari perlengkapan. Ia tidak percaya apa yang dilihatnya. Kelas telah kosong melompong dan Ia dikelilingi oleh ular-ular yang mendesis-desis.” Emory membelokkan Mercedes-nya ke area studio. “Apakah ular-ular itu sungguhan?” Jake bertanya. Emory mengangguk. “Hampir semuanya. Tapi reptil-reptil itu tidak berbahaya kok. Taringnya sudah dicopot.” Ia memarkir mobilnya di tempat parkir khusus. “Tapi kau tak perlu khawatir, Jake. Kau tak perlu berada dekat-dekat ular mana pun juga.” “Aku tidak khawatir kok,” protes Jake. “Apa yang harus kami lakukan?” Chelsea bertanya. “Kalian murid kelas kesenian,” Emory memberitahunya. “Posisi kalian di bagian belakang kelas. Kalian hanya perlu berpura-pura melukis atau sesuatu seperti itu. Tidak sulit.” *** Jake dan Chelsea harus menunggu di sekitar tempat syuting selama hampir dua jam. Pertama, para kru mengalami kesulitan dengan pencahayaan di seting ruang kelas. Setelah itu Emory mendapati bahwa ular-ular yang diantar tidak cukup. Dengan marah Ia mengutus seseorang untuk mencari dua lusin ular lagi. Jake dan Chelsea mengobrol dengan para figuran lain. Mereka semua bertanya pada Jake bagaimana rasanya menjadi anak si Raja Horor. "Asyik,” Jake menyahut “Keren habis deh pokoknya." Ia beranjak ke meja makanan untuk mengambil sepotong bagel dan jus - lalu menabrak Devon Klar. Devon Klar telah main dalam sebuah film TV ngetop tentang para remaja vampir selama beberapa tahun. Ini film layar lebar pertamanya. (bagel: sejenis roti berbentuk seperti cincin seukuran telapak tangan, dibuat dari adonan tepung terigu dan ragi yang direbus di dalam air sebelum dipanggang) “Whoa!” Devon berseru kaget saat menatap lake dengan saksama. “Kau seperti kembaranku!” “Apa?” Jake menatap cowok itu lekat-lekat. Devon benar. Ia lebih jangkung dari Jake dan lebih berotot. Tapi mereka berdua memiliki rambut cokelat lurus, sepasang mata hitam serius, mulut penuh, dan rahang persegi yang sama. “Kau anak Emory, ya kan?” Devon bertanya, masih saja menatap lekat wajah Jake. Jake mengangguk. “Bagaimana sih rasanya?” tanya Devon “Maksudku, dia seram nggak di rumah?” “Nggak terlalu,” sahut Jake. Devon meletakkan dua potong danish ceri di piringnya. “Apa yang kaulakukan di sini? Cuma nongkrong?” (danish: sejenis kue yang banyak di hotel-hotel, dibuat dan di bentuk dengan aneka ragam bahan, bentuk dan rasa) “Hari ini aku jadi figuran,” sahut Jake. “Itu lho, di kelas kesenian” “Asyik,” Devon bergumam “Yah selamat bersenang-senang, kembaranku.” Ia berlalu dengan sepiring penuh makanan. Jake kembali ke Chelsea, yang tengah duduk di atas peti kayu, membaca majalah People. “Kau bawa bagel untukku?” ia bertanya tanpa mendongak dari majalahnya. “Tidak. Memangnya kau mau?” tanya Jake. “Nggak terlalu sih.” “Apakah menurutmu aku kelihatan seperti kembarannya Devon Klar?” tanya Jake. “Dalam mimpi!” sahut Chelsea. “Para figuran! Figuran!” Sheila Farrel, si asisten sutradara, memanggil. Ia wanita muda tinggi kurus dengan rambut merah pendek yang bergoyang-goyang setiap ia berjalan. “Para figuran di ruang kelas. Ambil posisi.” Jake menggigit bagel-nya untuk terakhir kali dan mengikuti Chelsea ke seting ruang kelas. Ia tahu perannya gampang. Sama sekali tidak sulit. Biarpun begitu jantungnya mulai berdegup kencang. “Bisakah kita latihan dulu?” Sheila berseru. “Kita perlu mengatur adegan ini sedikit.” “Mana Devon?” teriak Emory. Ia menatap Jake sekilas saat mengedarkan pandang. “Devon? Dia sedang di-makeup, ya?” “Kata Sheila aku tak perlu dirias,” sahut Devon seraya berlari menghampiri Emory. “Aku bakal terkunci di lemari penyimpanan, ya kan?” “Benar.” Emory menatap clipboard di tangannya. “Kau berusaha keluar. Kami hanya menyorotmu dari belakang. Tidak perlu makeup.” Jake dan Chelsea mengikuti Sheila ke meja di bagian belakang ruangan. Wanita itu menunjukkan kertas dan cat-cat yang berserakan di atas meja. "Lukis apa saja yang kalian inginkan,” ia memerintahkan mereka. “Pokoknya terserah apa saja. Yang penting kalian berkonsentrasi pada lukisan kalian - dan jangan mengobrol.” "Beres,” sahut Jake. Ia dan Chelsea mengambil tempat. Sheila membimbing para figuran lain ke tempat mereka. Devon masuk ke dalam lemari perlengkapan. Seorang kru dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya. Jake melihat lemari itu tidak beratap. Sebuah kamera bertengger di atas dinding belakang, tertuju pada punggung Devon. Kamera kedua berdiri di bagian depan ruang kelas, siap merekam murid-murid kelas kesenian itu. “Panggilkan pawang-pawang ularnya,” perintah Emory. “Untuk latihan ini aku ingin ular-ular itu ditempatkan di tempat mereka. Tapi biarkan mereka tetap di kandang.” Ia bertepuk tangan. “Ular! Bawa masuk ular-ular itu!” *** Setelah tiga kali latihan barulah Emory puas dengan adegan itu. Dengan penuh konsentrasi, Jake dan Chelsea menyapu lukisan mereka dengan kuas. Ular-ular itu terus merayap di dalam kandang. Devon menggedor pintu lemari, mendorong, menarik, mencoba sekuat tenaga untuk keluar. “Oke - ayo kita mulai,” Emory mengumumkan. “Yuk kita rekam adegan ini.” “Tenang!” teriak Sheila. “Semuanya, tenang! Kita mulai merekam.” Bunyi orang memalu di seberang ruangan herhenti. Studio yang luas itu sunyi senyap. “Pita film berputar,” seseorang berkata. “Siap merekam.” Tiba-tiba erangan keras dari lemari perlengkapan memecah kesunyian. “Apa itu?” Emory, yang berdiri di sebelah juru kamera," bertanya. Erangan lagi. Dan Devon terhuyung-huyung keluar dan situ sambil memegangi perutnya. “Sakit... aduh... sakitnya.” Sheila mendesah. Emory meletakkan clipboard-nya dan berlari menghampiri Devon. “Ada apa? Apamu yang sakit?” “Perutku,” erang Devon. “Tadi aku makan beberapa danish. Aku...“ Wajahnya seputih kapas. Lututnya lemas. Emory memeganginya agar ia tidak merosot kelantai. “Kurasa... aku... sakit... ,“ rintih Devon. Dua anggota kru membantu memapah Devon pergi. Mereka bergegas ke pintu belakang. Terdengar lagi erangan keras. “Dia muntah!” salah satu kru berteriak. Daun pintu dibanting di belakang mereka. Jake menoleh dan mendapati ayahnya tengah menatapnya. "Jake,” seru Emory “Kemarilah. Aku ada ide. Coba kau berputar.” "Apa? Berputar?” Jake dengan patuh memutarkan tubuh. "Yap” ujar Emory. "Rambutmu sama dengan rambut Devon. Kau mirip dia - dari belakang.” "Wow. Terima kasih untuk pujiannya,” seloroh Jake seraya memutarkan matanya. Beberapa figuran tertawa. "Adegan ini gampang kok. Sama sekali tidak penting,” Emory berkata seraya meletakkan lengannya yang berat di bahu Jake. "A-aku tidak mengerti,” Take tergagap "Kita akan mengambil adegan ini dengan kau,” Emory menjelaskan. “Pergilah ke lemari itu. Dorong pintunya. Gedor-gedor. Cobalah untuk keluar. Cuma itu yang mesti kaulakukan.” Jake terkesiap menatap ayahnya. “Apa? Aku? Melakukan adegan Devon?” "Gampang kok, Jake,” tukas Emory sambil membimbingnya ke lemari. “Kami akan mengambil gambarmu dari belakang. Tak seorang pun bakal melihat wajahmu. Ayolah. Mari kita mulai.” Di pintu lemari, Jake sangsi “Kau yakin?” "Kau tidak takut - ya kan, jake?” desak Emory. "Takut? Tentu saja tidak!” ucap Jake. “Tentu saja iku tidak takut!” Ditariknya pintu lemari dan masuk ke dalam. Inilah kesempatanku, Jake memutuskan. Kesempatanku untuk membuktikan pada ayahku bahwa aku tidak takut apa pun. “Tenang!” Sheila berseru “Semuanya tenang! Kita akan merekam adegan ini!” 9 JAKE mengusapkan tangannya yang berkeringat pada jinsnya. Ia berdeham dan mendekati pintu lemari. Di belakangnya, juru kamera berbisik, “Belum. Nanti kuberi tanda kalau sudah saatnya.” "Kau baik-baik saja di dalam sana, Jake?” Emory berseru. “Tahu apa yang harus kaulakukan?” "Ya!” Jake balas berseru. “Tenang saja.” Ya, aku bisa, ia mengatakan pada dirinya. Aku pasti bisa. “Ada masalah, Emory!” ia mendengar Sheila berteriak. "Masalah? Aku baru saja mau mengambil adegan di sini,” Jake mendengar Emory memprotes. “Ada apa sih?” "Yah... salah satu ular hilang.” Dari balik pintu lemari, Jake mendengar desahan tertahan dan seruan terkejut para pemain figuran di seting ruang kelas itu. "Salah satu ular hilang?” Emory bertanya. "Ya. Begitulah kata si pawang ular padaku,” sahut Sheila. “Ular itu pasti di suatu tempat di ruang kelas itu. Kalau kau mau menunda pengambilan gambar itu dan mencarinya-” “Untuk apa?” potong Emory. “Cuma satu ekor ular, ya kan? Dan ular itu tidak berbahaya, kan?” “Yah... iya sih. Tapi ular itu lumayan besar.” “Akan kita cari setelah selesai merekam adegan ini,” ujar Emory. “Sepagian ini sudah terbuang sia-sia. Aku tak tahan kehilangan semenit lagi.” Jake mendengar Emory bicara pelan pada seseorang selama beberapa menit. Lalu ia mendengar Sheila berseru, “Ambil posisi. Siap-siap, semuanya. Anak-anak, berkonsentrasilah pada tugas seni kalian. " “Tenang!” “Pita telah berputar,” seseorang mengumumkan pelan. “Siap merekam. Otot-otot tubuh Jake terasa tegang. Ditekankannya kedua tangannya pada permukaan daun pintu, lalu ditariknya napas dalam-dalam. “Adegan satu-dua belas, pengambilan pertama,” Jake mendengar Sheila mengumumkan. Didengarnya suara klik papan tanda pengambilan adegan. “Tunggu tanda dariku,” ulang juru kamera, berbisik di belakangnya. “Dan jangan membalikkan badan. Gedor saja pintunya, putar kenopnya - dan dorong daunnya dengan bahumu.” “Beres,” Jake balas berbisik. Ia kembali menarik napas dalam-dalam dan menunggu. "Action!" ia mendengar Emory berseru. Ia mendengar suara-suara di ruang kelas. Dua cewek mengucapkan dialog mereka. Ia membayangkan apa yang sedang Chelsea lakukan. Tugasnya mudah kok, ia berpikir. Hari yang aneh. Waktu kami tiba di sini pagi ini, aku tak pernah membayangkan bagian belakang kepalaku bakal jadi bintang! "Oke -mulai! Pergi ke pintu - sekarang.” Kata-kata juru kamera memecahkan lamunan Jake. Ia maju selangkah ke pintu. Lalu selangkah lagi. Ketika ia kembali melangkah, dirasakannya ular itu berbergelung melilit pergelangan kakinya. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 10 JAKE nyaris menjerit. Ditutupnya mulutnya rapat-rapat untuk menahan jeritannya. Ia tahu adegan ini tengah direkam. Diangkatnya tinjunya untuk menggedor pintu lemari. Namun ular itu semakin erat melilit kakinya. Semakin erat lagi... Sampai Jake harus menjerit. Ia tak sanggup menahannya lagi. “Tolllloooong!” Jeritan melengking lepas dari mulut Jake. Disentakkannya pintu lemari itu dan berjalan terhuyung-huyung masuk ke kelas. Ular itu melilit pergelangan kakinya lebih erat lagi. Menolak melepaskannya. “Tolong!” Jake menahan napas. “U-u-ular!” Ia mendengar jeritan-jeritan kaget anak-anak lain. Lalu dilihatnya ekspresi kesal di wajah ayahnya Emory melempar clipboard-nya dengan penuh kemarahan ke lantai. “Jake - apa sih masalahmu?” bentaknya seraya meluncur melintasi ruangan, kedua tinjunya berayun-ayun di sisi tubuhnya “U-ular... ,“ gumam Jake sambil menggerak-gerakkan kaki, melompat, berjingkrak-jingkrak, berusaha menendang lepas makhluk itu. Ia melihat ke bawah. Bukan ular. Tidak. Tak ada ular. "Jake - kakimu terjerat gulungan kabel listrik,” desah Emory sambil berkacak pinggang. Diputarnya bola matanya. Alisnya naik sekitar setengah meter di keningnya. “Kabel listrik,” ulangnya, gusar sekali. Jake membungkuk dan menarik kabel itu dari pergelangan kakinya. Bisa didengarnya anak-anak dan para kru menertawainya. Waktu ia meluruskan punggung, Emory membimbingnya keluar dari tempat syuting. “Kalau saja kau bisa mengakui seting film membuatmu takut." ujarnya lembut, "Aku kan tidak akan memaksamu datang kemari.” "Emory, aku tidak takut. A-” Jake memulai. Namun Devon Klar telah berlari kecil ke arah mereka. “Sori ya yang tadi itu,” ia berkata pada Emory. “Sekarang aku sudah jauh lebih baik. Aku siap beraksi nih.” "Kabar baik, kalau begitu,” sahut. Emory. Ditepuknya bahu Jake. “Bagaimana kalau kau pergi ke sana saja? Buatkan dirimu sandwich. Dan tunggu sampai kami selesai mengambil seluruh adegan.” "Yeah Tentu saja,” ujar Jake murung. Haruskah aku mengganti namaku menjadi Pecundang? Atau Penakut? Yeah. Penakut. Rasanya enak didengar. Ia berjalan lemas ke meja makanan di dekat dinding. Konyol sekali, batinnya. Aku kan pemberani. Aku suka horor. Aku menyukainya seperti ayahku. Aku juga orang yang menyeramkan. Sungguh. Tapi bagaimana aku bisa membuktikannya pada Emory? Bagaimana? Jake tidak terlalu bernafsu makan Malah sebenarnya perutnya terasa tegang dan seberat batu. Namun diangkatnya piring dan mulai melihat-lihat sandwich. Ia mengambil sandwich ham dan tengah menyendoki salad kentang ke piringnya saat dirasakannya ular itu merayap di antara kedua kakinya. 11 SETELAH insiden ular itu, Emory tidak mengajak Jake ke tempat syuting itu lagi. Selama beberapa minggu berikutnya, Jake dan Chelsea menghabiskan waktu bersama Carlos, bermain basket dan berenang di halaman belakang rumah Jake. Pada suatu hari mereka menyusuri Hollywood Boulevard, melihat-lihat toko-toko T-shirt dan museum layaknya turis. Pada hari lain ibu Jake menurunkan mereka di Westwood dan mereka pergi shopping di toko-toko kecil yang trendi. Musim panas Jake benar-benar oke. Tapi ia tak berhenti memikirkan ayahnya - bagaimana cara membuktikan pada Emory bahwa ia bukan penakut. Jake pergi ke toko buku dan membeli buku-buku Edgar Allan Poe. Ia duduk di pinggir kolam renang berharap Emory bisa melihatnya membaca buku-buku itu. Jake membeli setumpuk majalah tentang film horor dan meninggalkannya di sekeliling rumah. Ia tahu itu bisa membuat ayahnya terkesan. Tapi Emory tengah sibuk mengerjakan film Sekolah Jerit-nya. Ia jarang sekali pulang. Ia tidak memperhatikan upaya Jake untuk tampil sebagai si pemberani. Pagi-pagi di hari ulang tahunnya, Jake mengenakan kaus polo putih dan jins belel, lain bergegas turun untuk sarapan. Ia berharap ibunya akan memasakkan sarapan favoritnya - panekuk blueberry dengan whipped cream. (whipped cream: krim yang sudah dikocok. Krim ini kadar lemak susunya tinggi sehingga kalau dikocok akan kental. Bentuknya cair, putih seperti susu.) Tapi pengurus rumah mereka mengatakan ibu Jake telah pergi. Jake menemukan sebuah pesan dari ayahnya tertempel di pintu kulkas: Selamat ulang tahun, Jake! Han ini aku akan sibuk terus di studio. Aku ingin kau datang dan menemuiku di sana. Akan kukirim mobil menjemputmu. Mom akan bergabung dengan kita di studio, dan kita akan makan malam di luar. Restorannya terserah kau. Tapi, kurnohon, jangan di In & Out Burger. Pilihlah sesuatu yang lebih wah. Sampai jumpa nanti, Jake Love, Emory *** Limo hitam itu memasuki jalur masuk pada pukul empat. Karena nanti mereka akan makan malam di luar, Jake mengganti pakaiannya dengan celana khaki bersih dan kaus sport linen berwarna cokelat yang biasanya hanya akan dipakainya setelah diprotes orangtuanya. Sopir berseragam hitam memberi hormat padanya. Pria itu berkumis tebal dan berambut keriting. Ia membukakan pmtu mobil bagi Jake seraya berkata, “Selamat ulang tahun.” Jake masuk ke mobil dan duduk di jok kulit yang lembut Ia memandang ke luar lewat kaca jendela yang gelap, sementara limo dengan tenang membawanya ke studio film. Si sopir membawa mobil itu melewati pos satpam di bagian depan area studio, lalu berhenti. Pintu penumpang terbuka. Jake mendapati seorang pria mungil memegangi pintu itu baginya. “Selamat datang,” pria itu berkata dengan suara parau. Jake melangkah keluar dan berdiri di sebelah pria mungil itu Pria itu hanya beberapa inci lebih inggi darinya. Pria itu tampak sangat tua. Kepalanya benar-benar botak kecuali beberapa helai rambut putih tipis yang melambai-lambai di sekitar telinganya. Mata kelabunya yang kecil dan bulat menatap Jake tajam, setengah terbuka dan dikelilingi lingkaran gelap. Wajahnya tirus dan seputih bedak. Dagunya yang anjang seperti menyelinap masuk ke dalam kerah kemeja putihnya yang terbuka. Bagian depan kemejanya menyembul keluar dari balik celananya. Setelan hitamnya yang mengilat tampak kebesaran. Bagian lengan jasnya kepanjangan, sementara pipa celananya terseret-seret menyapu trotoar. "Lewat sini,” pria mungil itu berkata serak. Ia berbalik dan mulai berjalan, bahunya bungkuk, ma-tanya setengah tertutup memandang ke depan, seolah-olah sedang melihat menembus kabut tebal. Siapa sih pria ini? Jake bertanya-tanya. Aku belum pernah meiihatnya. Jake mengikutinya melewati bangunan panjang yang diplester putih, tempat kantor-kantor studio. Setelah itu mereka membelok dan melewati kafeteria studio yang sudah tutup dan gelap. Jake menyusuri jalan kecil yang familier dan bergerak menuju panggung pengambilan suara yang luasnya sebesar hanggar pesawat terbang. Di situlah Emory sedang syuting film. Bukannya mengantarnya ke situ, pria - itu malah mencengkeram lengan baju Jake. “Lewat sini,” ia berkata, sambil menudingkan jarinya yang bengkok dan kurus ke arah lain. Mata kelabu kecil pria itu menatap lake lekat-lekat. Pria ini pucat sekali, pikir Jake. Bagaimana mungkin ia tinggal di LA yang penuh sinar matahari dan tetap sepucat ini? Diikutinya pria mungil itu menjauhi panggung pengambilan suara. Matahari tergantung rendah di langit yang kotor oleh campuran asap dan kabut. Bagian belakang leher Jake seperti tertusuk-tusuk di bawah cahaya terik matahari. Mau ke mana sih kami ini? Kepala pucat pria itu seperti naik-turun setiap melangkah. Ia membimbing Jake melewati sebuah panggung pengambilan suara lagi, seting jalan kota, kota Wild West, dan bangunan-bangunan beton yang asing bagi Jake. Jake tersadar mereka kini nyaris berada di bagian belakang area studio. "Anda akan mengantarku ke ayahku, ya kan?” ia bertanya. Pria mungil itu tidak menyahut. Sebaliknya ia malah menudingkan jemarinya lagi. Jake melihat bangunan besar berwarna hijau di pannya. Bangunan itu sepertinya sudah lama tak digunakan. Cat dindingnya yang hijau pada terkelupas. Semua jendelanya dilapisi papan. Talang airnya telah lepas dari bawah atap dan menggantung ke trotoar. "Kita akan ke situ?” tukas Jake seraya mengusap keringat dari keningnya dengan punggung tangannya. “Ayahku akan menemuiku di situ?” Lagi-lagi pria itu tidak mengatakan apa-apa. Ketika bangunan itu semakin dekat, Jake bisa membaca huruf-huruf samar di atas pintu kayu bangunan itu: PANGGUNG PENGAMBILAN SUARA 13. Tiga belas - benar-benar angka mujur, pikirnya. Kenapa hari ini Emory menggunakan panggung pengambilan suara tua ini? Pasti untuk efek khusus atau sebangsanya. "Ibuku sudah sampai belum?” Jake bertanya. “Seharusnya dia menemui kami di sini.” Pria tua itu cuma batuk. Dimasukkannya tangannya ke saku celana dombrangnya dan menarik keluar serenceng kunci. Anak-anak kuncinya model kuno dan besar-besar serta terbuat dari besi. Ia meraba anak-anak kunci. itu, menatapnya tajam, mengangkatnya dekat-dekat ke wajahnya. Akhirnya ia memilih satu dan menyelipkannya ke dalam lubang kunci di pintu. Pintu terbuka dengan mudah. Pria mungil itu membukanya lebar-lebar dan menepi untuk memberi jalan pada Jake. “Hei - di sini gelap!” protes Jake. “Di mana sih kita?” “Panggung Pengambilan Suara 13,” sahut pria itu dari ambang pintu. Jake menarik napas panjang. Ditatapnya kegelapan di depannya. Udara di situ terasa panas dan lembap. Bau apek. Asam. “Apa - apakah ayahku bekerja di sini?” tanya Jake. “Aku tak tahu apa-apa tentang hal itu,” pria mungil itu menjawab. “Apa? Apa maksud Anda?” Pna itu batuk lagi. Anak-anak kunci yang berat bergemerincing di dalam tangannya. “Aku cuma menjalani perintah,” ia memberitahu Jake. “Maaf? Perintah?” Pintu itu dibanting hingga tertutup. Jake menahan napas. Ia menatap kegelapan yang pekat itu. “Hei, tunggu -” Jake mendengar anak kunci pintu itu diputar. “Hei, jangan!” Jake menerjang ke pintu. Meraba-raba mencari kenopnya dalam kegelapan. Ia menemukannya. Lalu memutarnya. Ke satu arah. Lalu ke arah lain. Ia menarik. Menarik dengan segenap tenaganya. Terkunci. Terkunci di dalam. "Hei - keluarkan aku!” teriak Jake. “Ada apa ini? Keluarkan aku dari sini!” 12 JAKE mundur dari pintu. Kegelapan seperti mengepungnya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri - namun nyaris tercekik bau asam ruangan itu. Tempat apa ini? ia bertanya-tanya. Ia berbalik dari depan pintu dan menunggu matanya menyesuaikan diri dengan gelap. Garis-garis tipis, sinar matahari menyelinap masuk dari sela-sela papan yang menutupi jendela-jendela. Ruangan itu sangat luas. Panggung pengambilan suara yang sudah tua. Tak terpakai lagi. Kosong melompong. Jake menangkupkan tangannya di sekeliling mulut dan berseru, “Emory? Emory? Kau di sini?” Suaranya dipantulkan oleh dinding-dinding dan langit-langit. Tak ada jawaban. “Siapa sih lelaki tua yang menyeramkan itu?” Jake bertanya “Dan kenapa ia membawaku kemari? Ini lelucon atau apa sih?” Ini kelihatannya tidak seperti lelucon Jake perlahan-lahan mulai menangkap beberapa bentuk, beberapa benda. Ia melihat setumpuk kotak kayu menempel di salah satu dinding. Satu rak kursi lipat yang disusun miring. Beberapa koper metal yang ditumpuk tiga-tiga. "Rupanya ini ruang penyimpanan,” Jake bergumam. "Kenapa lelaki tua itu mengunciku di ruang penyimpanan?” Cahava jingga persegi empat tertangkap olehnya. Cahaya itu jauh dari tempatnya berdiri. Apakah itu ruangan lain? Sepatu Jake berdecit-decit di lantai beton, membangkitkan kepulan debu saat ia berjalan menuju cahaya itu. “Hei - ada orang di sini?” ia berseru. Ia mendengarkan kata-katanya yang bergema. "Hei - ada orang tidak?” Tak ada jawaban. Ia melanjutkan langkah. Jalan keluar, pikirnya. Yes! Panggung pengambilan suara ini punya pintu-pintu samping. Dan juga pintu-pintu belakang. Pintu-pintu di segala sisi. Itu pasti jalan keluar. Jantungnya mulai berdentam-dentam. Ia berlari keci menyeberangi panggung pengambilan suara yag luas itu. Menuju cahaya persegi empat itu. Ruangan lain. Sinar matahari sore yang semakin samar tercurah melalui jendela yang letaknya tinggi, sekitar satu mil di atas kepala Jake. Jake berhenti di ambang pintu dan menatap ruangan itu. Kostum. Pakaian-pakaian kuno dan setelan-setelan pria. Rak demi rak berisi pakaian-pakaian kuno. Rak-rak kostum, berdiri berjejalan memenuhi ruangan itu. Jake menatap pakaian-pakaian koboi, tutu-tutu balet, gaun-gaun pesta yang dilapisi kain tipis... Ia melangkah memasuki ruangan itu. Mengulurkan tangan menyentuh bagian lengan seragam tentara model kuno. Seragam itu berselimut debu. Ngengat telah menggigiti mansetnya dan menciptakan ribuan lubang kecil di situ. Jake bergerak. di antara rak-rak kostum. Ditatapnya pakaian-pakaian, seragam, dan setelan-setelan kuno itu. Kakinya terpeleset saat menginjak lapisan debu putih di atas lantai. Kostum-kostum itu sudah lusuh. Digigiti ngengat. Berdebu. Sudah seratus tahun tak ada yang mendatangi tempat ini! pikir Jake. Aneh sekali! Ia berjalan ke tengah ruangan. Dan berhenti di depan setumpuk kostum tua yang berserakan di lantai. Tampak sebuah kostum gorila berbulu di antara libatan jubah hitam yang licin. Jake membungkuk dan menarik kostum gorila itu. Kostum itu berat sekali. Dan baunya seperti daging busuk. Jake mengangkatnya tinggi-tinggi. Diperhatikannya wajah karet gorila yang sudah kusam itu. “Keren,” gumamnya. Dijatuhkannya kostum itu ke tumpukan pakaian. Dan dilihatnva tumpukan itu bergerak. Jubah hitam itu seperti bergetar. Dua gaun pesta yang berwarna biru mengerut, lalu tersibak. "Apa?” Jake menahan napas saat kostum-kostum itu bergerak. Lengan-lengan pakaian terangkat ke atas seolah ingin meraih sesuatu. Baju-baju pada terbalik. Sehelai seragam tentara berwarna cokelat terjatuh dari tumpukan. Jake menatap takjub sementara dua sosok perlahan-lahan muncul dari tengah tumpukan. Dua sosok berwajah buruk dan pucat meregangkan tangan, memutar kepala mereka, merangkak keluar, melayang dari bawah tumpukan kostum yang berdebu. "Tidak mungkin-” sembur Jake. Ia mundur selangkah - dan menabrak rak mantel bulu. Kedua makhluk itu kembali meregangkan tangan. Yang satu laki-laki, yang satu perempuan. Mereka seperti hantu. Kulit mereka tegang dan tipis hingga bisa melihat tulang-belulang di baliknya. Mata mereka kuning, terbenam dalam-dalam di dalam rongganya. Bibir mereka pecah-pecah dan berwarna ungu. "Ayo kita bikin film, Jake,” si perempuan berkata parau. Suaranya sekering keresak dedaunan yang telah mati. Ia melangkah keluar dari tumpukan kostum, matanya yang cekung menatap Jake lekat-lekat, bibirnya yang ungu tersenyum jelek. "Apa?” Jake mundur ke antara barisan mantel bulu. Berusaha menghindar. Tapi ia malah terperangkap di antara rak-rak kostum. “S-siapa kau?” Jake akhirnya sanggup berkata. “Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Si pria bergerak ke samping si perempuan. Dijilatnya bibirnya dengan lidah gemuknya yang ungu. Codet merah dan dalam tertoreh di salah satu sisi wajahnya. Codet itu terus menoreh ke atas, melewati rambut cokelatnya yang hanya tumbuh di beberapa tempat. Darah kering melekat di sepanjang luka itu. Kedua hantu itu mengenakan pakaian serba hitam. Jubah hitam mereka yang kebesaran terseret menyapu lantai saat mereka meninggalkan tumpukan kostum. Dan bergerak menghampiri Jake. “Jangan ganggu aku!” Jake menjerit marah. “Ada apa sih sebenarnya?” “Yuk, kita bikin film horor,” si perempuan berbisik parau. “Tapi... siapa kalian?” desak Jake. “Apa yang kalian lakukan di sini?” “Kami dilupakan, Jake,” si pria menyahut, suaranya berupa bisikan parau seperti temannya. “Tempat ini sudah lama dilupakan orang,” si perempuan berkata serak. “Mereka melupakan kami. Benar-benar melupakan kami.” “Tapi kami masih di sini,” si pra menambahkan, lagi-lagi menjilati bibirnya yang pecah-pecah, mata kuningnya yang cekung bergerak liar. “Kami masih di sini - dan sekarang kami mendapatkan kau.” "Tapi - tapi -” Jake tak sanggup bicara. "Sekarang kita bisa membuat film kita,” si perempuan berkata, melayang mendekat, tangannya terulur ke depan, bersebelahan dengan si pria. “Sekarang kita bisa membuat film horor paling seram yang pernah dibuat!” Jake tersudut. Ia tak bisa lari. Tak bisa bergerak. Kedua makhluk itu menangkap dan mencengkeram bahunya. Lalu mengangkatnya dari lantai. Mendorongnya ke rak kostum. "Pertunjukan dimulai,” bisik mereka. 13 "LEPASKAN aku!” jerit Jake melengking. “Turunkan aku!” Kedua hantu itu mengangkatnya. Mulut ungu mereka menyeringai senang. “Tidakkah kau ingin membuat film bersama kami, Jake?” si perempuan berkata parau. “Tidakkah kau ingin main di film kami?” temannya berbisik. “Tidak! Turunkan aku!” sergah Jake marah. “Antarkan aku ke ayahku - sekarang juga.” “Tapi kami tidak kenal ayahmu,” si pria menyahut. “Kami sudah terkunci di sini bertahun-tahun lamanya,” si perempuan berkata seraya menggeleng-gelengkan kepala. Rambutnya yang kering dan seperti jerami mengusap pipi Jake. “Kami telah menunggu lama sekali di sini menunggu bintang film kami!" “Kalian sinting!” tukas Jake “Kalian berdua sinting! Lepaskan aku!” “Kita akan bersenang-senang,” si pria berkata seraya menurunkan Jake ke lantai. “Film kita akan menjadi film horor paling menyeramkan yang pernah dibuat.” “Kalian pasti bakal ketakutan setengah mati kalau ayahku sampai menemukan kalian di sini!” ancam Jake. Mereka melemparkan kepala ke belakang dan tertawa.. “Ayahmu tak bisa berbuat apa pun pada kami,” si wanita berkata. “Soalnya kami sudah mati,” temannya menambahkan. “Apa sih yang bisa kaulakukan terhadap oIang yang sudah mati?” Diusapnya darah kering di sepanjang codetnya. Mereka tertawa lagi, tawa parau dan kering yang kedengarannya seperti batuk. Aku harus keluar dari sini, pikir Jake. Mereka sama-sama sinting! Aku harus mencari jalan keluar. Ia mulai beringsut di sepanjang rak kostum, matanya mencari-cari pintu atau jendela. Ia berhenti saat tumpukan kostum di tengah ruangan mulai bergerak lagi. Mantel-mantel dan baju bergerak. Kostum gorila itu menggelinding. Dua sosok jelek memanjat keluar dari balik tumpukan. Dua-duanya laki-laki. Rambut panjang mereka kening seperti jerami putih, kulit mereka kehijauan, dan di bibir ungu mereka tampak seringai menakutkan. Mereka bangkit berdiri, meregangkan tubuh, mengerang seolah-olah mereka tak pernah bergerak selama ratusan tahun. “Tidddaaaak,” erangan pelan terlepas dari leher Jake. “Ini dia bintang film kita!” si perempuan berseru seraya beranjak ke sisi Jake. Ia menanamkan jemarinya di bahu kemeja Jake. “Kita bisa memulai film kita!” si lelaki mengumumkan. “Kita sudah di sini. Akhirnya, kita semua ada di sini!” Jake membebaskan diri dari cengkeraman si perempuan. Napasnya kembang-kempis. Jantungnya memukul-mukul dada. “Ini lelucon - ya,kan?” ia akhirnya berkata. “Ini cuma lelucon, kan? Salah satu pria berambut kasar dan bermata kuning lenyap ditelan rak-rak kostum. Beberapa saat kemudian ia kembali sambil membawa tongkat panjang di depannya, seperti tiang bendera. Jake terkesiap. Apa itu yang bertengger di ujung tongkat itu? Kepala? Kepala manusia? Jake memicingkan mata memandang benda itu - dan kemudian membuka mulut dan berteriak histeris saat mengenalinya. Chelsea. Kepala Chelsea. 14 JAKE menutup mata dan mundur ke belakang. Perutnya terasa mulas saat tubuhnya jatuh menabrak rak kostum. Lehernya tercekat. Ia tak bisa bernapas. Ia terjengkang ke atas kostum-kostum itu. Dan jatuh menembus ke sisi lain rak. Pening, pusing, dia buru-buru mencoba bangkit ke atas lututnya. Dan setengah lari setengah merangkak melintasi rak berikutnya. Ia menyerbu keluar dari sisi lain. Dan melihat pintu yang membentang terbuka di dinding seberang. Yes! Berjuang keras untuk bernapas, dengan jantung berdentam-dentam dan telinga berdengung, ia memaksa dirinya bangkit berdiri. Lalu lari sekencang-kencangnya. Tak sekali pun ia menoleh. Namun ia bisa mendengar langkah-langkah cepat keempat makhluk itu tepat di belakangnya. “Kembali, Jake” “Kau tidak mau jadi bintang film, ya?” “Kami membutuhkanmu, Jake! Kami butuh kepalamu!” “Tidddaaaak!” Raungan ngeri keluar dari leher Jake. Ia berlari sekarang, berlari dengan kecepatan penuh. Melewati ambang pintu. Dan tiba di lorong yang panjang dan sempit “Kau bisa jadi bintang film bersama temanmu, Jake! “Temanmu menunggumu di sini!" “Berikan kepalamu! Kami butuh kepalamu!” Sepatunya terpeleset saat ia menyusuri lorong dan membelok tajam. Ia dapat mendengar keempat hantu di belakangnya, semakin dekat, amat dekat. Mereka memanggilnya dengan suara parau dan serak, memintanya berhenti, memintanya kembali, menyerahkan kepalanya.. ... seperti Chelsea. Tanpa sadar ia telah terisak. Air mata hangat mengalir turun di pipinya, terciprat dari wajahnya saat ia melintasi lorong yang panjang. Ia kembali berbelok tajam - dan menabrak setumpuk peralatan metal Kamera-kamera tua. Pengeras suara. Benda-benda itu menghadang jalannya. Tak bisa ke mana-mana. Tangan-tangan kuat menangkap Jake dari belakang. “Kau mau ke mana, Jake?” “Kau tak boleh pergi. Kami memerlukan bintang film kami!” “Tidddaaaak!” Dengan teriakan penuh amarah, Jake menyentakkan sikunya keras-keras. Didorongnya para penyerangnya itu. Lalu merangkak panik melewati peralatan tua yang berdebu. Satu tangan mencengkeram pergelangan kakinya. Jake menendangnya hingga lepas. “Kembali, Jake!” “Kau tak bisa kabur dari kami!” “Berikan kepalamu!” Sambil terisak-isak, dadanya naik-turun, pinggangnya terasa nyeri, Jake meluncur cepat. Dan jatuh terjerembap di depan tirai berwarna hitam. Tangan-tangan kurus kering mencengkeram pergelangan kakinya erat-erat. Tak bisa bergerak, ia tersadar. Mereka berhasil menangkapku. Aku tak bisa bergerak barang selangkah. Ia tak sanggup menahan air matanya. Sekujur tubuhnya terguncang ngeri. Ia berlutut membungkuk di lantai dan menunggu. Menunggu makhluk-makhluk itu menyeretnya pergi. Ia mendengar suara berdesir. Dan melihat tirai di depannya bergoyang. Lalu bergerak naik. Tirai itu diangkat dengan cepat. Dan Jake, masih berlutut, terisak keras, menatap ruangan yang penuh orang. Balon-balon. Topi-topi pesta. Lusinan wajah menyeringai. “Kejutan!” ,“Selamat Ulang Tahun!” 15 PESTA ulang tahun kejutan, Jake tersadar dalam ketakutannya. Ia melihat ibu dan ayahnya di barisan terdepan. Carlos berdiri bersama Chelsea. Chelsea? Kepala yang dilihatnya tadi cuma boneka rupanya. Semua ini hanya lelucon. Lelucon konyol. Dan di sinilah dia, berlutut di hadapan semua orang yang dikenalnya, menangis sesenggukan seperti bayi. Teriakan dan seruan gembira itu sekonyong-konyong lenyap. Bisikan-bisikan bingung dan gelisah memenuhi ruangan yang luas itu. “Jake - ada apa?” seru Chelsea Para aktor yang memerankan hantu-hantu itu buru-buru membantu Jake berdiri. “Maaf,” salah satu dari mereka berbisik. “Kami kelewatan, ya?” “Kami pikir kau tahu tentang hal ini,” yang lain berkata “Ayahmu menyuruh kami habis-habisan menakut-nakutimu.” Jake berbalik dan menemukan ibu dan ayahnya di sebelahnya. Mrs. Banyon memeluknya dan berpaling marah kepada Emory. “Sudah kubilang ide itu konyol sekali. Kau merusak ulang tahunnya!” “Tapi - tapi -” Emory tergagap. “Dia selalu bilang padaku dia tidak takut. Katanya dia sama beraninya dengan diriku. Jadi, kuputuskan untuk percaya padanya. Kusangka dia akan menyukainya!” Ibu jake menggeleng-geleng marah sekali. “Kau tak pernah menyerah - ya, kan, Emory? Kau harus membuktikan pada anakmu sendiri bahwa kau adalah si Raja Horor.” Dipeluknya Jake semakin erat. Jake telah berhenti terisak, tapi sekujur tubuhnya masih gemetaran. “Mom, kumohon -” bisiknya. “Lepaskan aku. Semua orang memperhatikan.” Mrs. Banyon tidak memedulikannya dan terus menatap suaminya dengan marah. “Ayo minta maaf pada Jake. Ayolah. Minta maaf.” “Mom - kumohon!” erang Jake. Ruangan itu sunyi senyap. Jake bisa melihat. Semua temannya, sanak saudara, teman-teman orangtuanya - memandangnya. Tak pernah aku begini malu seumur hidupku, ia berpikir. Teganya Emory melakukan semua ini padaku! Teganya ia menyewa aktor-aktor ini untuk menakut-nakutiku pada hari ulang tahunku! Dan sekarang aku takkan pernah bisa membuktikan padanya bahwa film-filmnya tidak membuatku ngeri. Takkan pernah. Emory mendekatkan tubuhnya kepada Jake dan mulai meminta maaf. “Aku benar-benar menyesal karena -” Jake tidak menunggu untuk mendengar kelanjutannya. Orang-orang yang memandanginya... ruangan yang sunyi senyap... rasa malu itu... rasa malunya. Cukup! pikirnya. Ia melepaskan diri dari pelukan ibunya - lalu lari. Jake berlari melewati tirai yang terbuka. Kembali ke lorong yang panjang. Ia tak tahu ke mana dirinya berlari. Ia hanya ingin berlari selama-lamanya. Emory takkan membiarkan aku melupakan semua ini, pikirnya pahit Emory takkan membiarkanku melupakannya. *** Namun - beberapa minggu kemudian - Emory mendapat kejutan besar yang akan mengubah segalanya. 16 SIANG yang panas di bulan Juli, matahari bersinar terik. Jake dan Emory sedang berendam di kolam renang. Jake terapung-apung dengan malasnya di atas rakit plastik berwarna biru. Emory berenang ribut melewatinya, muncul-tenggelam di permukaan air, bagaikan lumba-lumba berambut melakukan seratus putaran yang biasa dilakukannya. “Seratus!” serunya, akhirnya muncul di ujung kolam yang dangkal. Air mengalir menuruni tubuhnya saàt ia berdiri. Dilepasnya kacamata renangnya dan dilemparnya ke tepi kolam. Emory mengusap rambut hitam tebalnya ke belakang. Air menggantung di alisnya yang tebal. “Jake, apakah kau tidak terlalu lama berjemurnya?” tanyanya. “Aku sudah pakai losion kok,” sahut Jake seraya dengan malas mengayuh rakitnya dengan kedua tangannya. “Losion Nomor 15 kayaknya.” Emory mencengkeram ujung rakit itu dan menariknya ke ujung kolam yang dangkal. “Aku ingin bicara denganmu,” Ia berkata. Jake menatapnya lewat kacamata ribennya “Apakah aku melakukan kesalahan?” Emory tersenyum. “Bukan. Aku punya beberapa berita.” Ia menyelam di bawah air. Lalu muncul cepat seraya menyemburkan air dari mulutnya ke dada Jake. Jake tertawa. “Hei - itukah beritamu?” “Bukan,” Emory ikut tertawa. “Aku hanya ingin menarik perhatianmu.” Ekspresinya berubah serius. “Studio menginginkan aku memulai Sekolah lent VI dalam waktu dekat. Kami akan mengambil adegan di luar studio. Aku telah menemukan sekolahan tua yang sudah tak terpakai di padang gurun. Gedung itu sempurna sekali, dan konon katanya sih angker.” “Keren dong,” sela Jake. “Mungkin kau bisa mensyuting hantu sungguhan.” “Aku lebih suka pakai aktor,” timpal Emory, tersenyum. “Mereka lebih mudah dikontrol.” Diusapnya air dan alisnya, lalu ditepuknya seekor lalat yang hinggap di bahunya. “Omong-omong, jake, aku ingin kau pergi ke lokasi itu bersamaku.” Jake nyaris terjungkir dari rakit mendengarnya. “Apa’?” “Ibumu harus mengunjungi bibimu selama seminggu. Aku tak ingin kau sendirian di rumah bersama pengurus rumah,” jelas Emory. Diputarnya rakit itu. “Kita akan bersenang-senang,” ia memberitahu Jake. “Dan aku janji tak akan melakukan apa pun untuk menakut-nakutimu.” “Aku tidak takut berada di lokasi pembuatan filmmu,” Jake menekankan dengan tenang. “Terserah apa katamu,” ujar Emory seraya merendam bahunya yang lebar di bawah air. “Lagi pula kau bisa membantuku di sana - tapi jika kau mau lho.” Jake menatap ayahnya dengan mata setengah terpicing. “Tempat itu gedung sekolah tua yang angker, yang sudah tak terpakai dan terletak di gurun pasir?” Emory mengangguk. “Bagaimana menurutmu? Kau mau ikut?” “Kedengarannya asyik!” seru Jake. “Aku ikut!” Inilah kesempatanku, pikirnya, seraya menengadah menatap senyum senang Emory. Inilah kesempatanku untuk menunjukkan padanya betapa beraninya diriku. Dan Jake tak pernah tahu betapa benar ucapannya itu. 17 "KITA perlu merusak beberapa jendela,” Emory memerintahkan para krunya. “Dan bisakah kita menyemprotkan lapisan debu di atas kayu di sebelah sini? Dan menaruh lebih banyak debu di jendela?” Lelaki muda itu bergegas menjalankan instruksi-instruksi Emory. Pekerja lainnya mendirikan kamera-kamera dan peralatan suara di depan gedung sekolah. Jake menengadah menatap gedung sekolah menengah yang sudah tak terpakai itu. Gedung itu bertingkat tiga, terbuat dari gelondongan kayu redwood yang sudah kusam dan terkelupas karena sinar matahari padang gurun yang terik. Jam yang terletak di menara kecil di atas atap batu yang miring, tak berjarum. Tiang benderanya juga miring ke sisi gedung. Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, Jake menatap jalanan. Sebarisan rumah yang dindingnya diplester juga sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Di seberang rumah-rumah itu, di depan rentangan pagar, tampak sebuah papan kayu yang sudah miring bertulisan: PETERNAKAN 3B. KUDA. Jake tak melihat seekor pun kuda di balik pagar itu. Dan ia tak melihat seorang pun peternak di sana. Ia dan Emory telah tiba di Silver City dua hari yang lalu. Mereka menginap di trailer mereka yang - ber-AC. Hotel kecil di tengah kota itu sudah ditutup. Dalam dua hari, Jake hanya pernah melihat lima atau enam orang di kota itu. Mengapa orang capek-capek membangun sebuah kota dan kemudian meninggalkannya? ia bertanya-tanya dalam hati. Di kejauhan Jake dapat melihat pegunungan cokelat dan ungu menyembul keluar menembus kabut yang berwarna kuning. Ia tahu itu adalah Pegunungan Sierra Nevada. Ia telah mempelajari sebuah peta dalam perjalanan melintasi padang gurun Silver City adalah sebuah titik kecil di dekat perbatasan Nevada. “Whoa. Hati-hati.” Jake minggir saat dua pria lewat cepat dan meletakkan kabel listrik. Ia menghampiri meja makanan yang diletakkan di bawah bayangan sebuah trailer. Aktor yang memerankan Johnny Jerit duduk di ambang pintu trailer yang terbuka, mulutnya komat-kamit membaca naskah skenario yang berwarna merah jambu. Namanya Rad Donner. Tanpa makeup yang mengerikan, rupanya tampan dan muda, dengan rambut pirang lurus cepak, bintik-bintik di pipi, serta senyum hangat. Dilemparkannya senyum hangatnya pada Jake. “Hei. Lagi ngapain?" “Cuma memperhatikan orang-orang,” gumam Jake. Diambilnya sepotong semangka dari meja. “Wow. Panas, ya?” “Namanya juga padang pasir,” sahut Rad, tak melepaskan pandangannya dari skenarionya “Di dalam gedung sekolah itu lebih panas lagi. Kau pernah masuk ke sana?” “Belum” Jake menggigit semangkanya besar-besar. “Ayahmu pintar memilih lokasi-lokasi seram begini,” Rad berkata sambil menyeringai “Hei - dia sudah cerita tentang CD-ROM game Johnny Jerit?” Jake menggelengkan kepala “Belum tuh” “Game paling laris saat ini. Keren, kan? Kau pernah memainkannya?” “Emory sudah membawanya pulang, tapi aku belum membukanya” “Well, aku bawa laptop di trailerku, kalau nanti kau mau melihatnya,” Ray menawarkan. “Kau tahu. Kalau kau lagi bosan.” Jake baru saja akan mengucapkan tenma kasih saat mendengar Emory memanggilnya. Ia memutarkan tubuh dan buru-buru menyeberangi hamparan pasir dan rerumputan tinggi untuk melihat apa yang diinginkan ayahnya. “Hari ini kita akan syuting di luar,” Emory berkata, seraya menulis sesuatu di clipboard-nya “Cuma beberapa pengambilan di bagian luar gedung sekolah. Tapi besok kuharap kita bisa syuting di ruang makan sekolah.” Segumpal awan berarak-arak menutupi matahari, menciptakan bayangan biru yang menyapu tanah dan kemudian gedung sekolah. Emory mengusap keningnya dan membetulkan letak topi bisbol Johnny Jerit di atas matanya. “Mau masuk dan melihat-lihat ruang makan itu untukku?” ia menanyakan Jake. “Yeah. Tentu saja,” jawab Jake cepat. “Kalau takut kau boleh menolak kok.” Jake menatap ayahnya dengan jengkel. “Tidak masalah!” “Coba lihat apa saja yang harus diperbaiki di sana,” perintah Emory. “Kurasa ruangan itu letaknya di bagian belakang lantai dasar. Atau mungkin di basement.” “Tenang saja, aku akan menemukannya,” tukas Jake. Ia berbalik dan berlari kecil menuju gedung sekolah. Di dekat pintu masuk, dua orang kru tampak memegang mesin berpipa panjang yang kelihatannya seperti alat penyemprot cat. Mereka sedang menyemprotkan lapisan debu di dinding depan. Jake menaiki tangga yang sudah rusak dan menarik pintu depan hingga terbuka. Semburan udara yang panas dan pengap menyambutnya. Ia melangkah memasuki koridor muka dan menunggu sampai matanya menyesuaikan diri dengan cahaya yang redup. Sebuah kotak kaca tempat menyimpan piala yang berdiri di dinding tampak terbuka. Sebuah trofi perak tergeletak di dalamnya. Kotak-kotak yang lain kosong. Menghiasi koridor muka, tampak spanduk berwarna biru kusam yang sudah sobek. Bunyinya: AYO, PARA PENYAMUN! SIKAT TERUS! Sepatu Jake berdebam-debam di atas lantai yang keras. Ia melewati sebuah pintu bertulisan KANTOR DIREKSI dan mulai menyusuri koridor. Loker-loker berdiri dengan pintu terbuka. Kosong. Sebarisan loker telah ditarik lepas dari dinding dan tergeletak di tengah koridor. Jake melongok ke dalam ambang pintu yang terbuka, mencari-cari ruang makan. Meja dan bangku-bangku masih tersusun di kelas-kelas, seolah-olah siap menyambut para murid. Peta-peta dinding yang besar ditarik ke bawah. Soal-soal matematika yang ditulis dengan kapur kuning menghiasi papan-papan tulis. Ke mana perginya semua orang? Jake bertanya-tanya seraya berbelok. Sekolah ini cukup besar. Pasti dulu ada banyak sekali anak yang tinggal di Silver City. Tirai putih apa itu yang terbentang di seberang kondor di ujung sana? Jake berjalan mendekatinya - dan kemudian berhenti. Tidak. Bukan tirai. Tapi sarang labah-labah. Sarang labah-labah yang berkilauan dan lengket, serta tebal seperti selimut. Jake menatap dengan mulut menganga - dan melihat lusinan labah-labah hitam berebut menaiki benang-benang sarang yang tebal dan berwarna putih. Lalat-lalat mati... kumbang-kumbang mati... ribuan serangga yang sudah mati menghiasi tirai itu. Jake bergidik. Lalu berbalik. Sarang labah-labah itu terlalu besar untuk ditembus atau didorong ke samping. Aku akan lewat jalan yang satunya, Jake memutuskan. Ia berjalan memutar, langkah-langkahnya seperti berdering di koridor panjang berlangit-langit rendah itu. Ia berbelok, lalu berbelok lagi, melongok ke dalam ruang-ruang kelas, kedua tangannya terbenam dalam-dalam di saku celana pendek baggy-nya, bulir-bulir keringat mengalir turun di keningnya. Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuatnya menghentikan langkah. Ia mendengar suara garukan. Ditatapnya sebuah pintu sempit. Lemari sapu? Ya. Sesuatu di dalam lemari itu menggaruk-garuk pintunya dengan sepenuh tenaga. Jake menelan ludah. Aku tak ingin tahu apa yang ada di dalam sana, ia memutuskan. Ia meneruskan langkah. Tak tampak ruang makan di lantai dasar ini. Ia menuruni tangga menujU basement. Gelap di bawah sana. Dan sedikit lebih dingin. Pintu pertama yang dibukanya membawanya ke ruang makan. Ia melangkah masuk. Cahaya kelabu tercurah lewat jendela-jendela kecil yang berada di atas. Dinding-dindingnya tampak kotor. Nampan-nampan plastik berserakan di lantai. Kursi-kursi diletakkan terbalik di atas meja-meja panjang. Sebuah keranjang sampah tampak terguling di atas konter tempat makanan disajikan. “Ih, jijiknya” Jake bergumam. Ia berteriak saat pintu terbanting keras di belakangnya. “Hei-” Ia berbalik. Tak ada siapa-siapa. Apakah itu tiupan angin? Nyaris tak ada angin bertiup di luar. Ia berbalik lagi. Bagian depan mesin minuman telah melesak, seolah-olah habis dihantam kapak. Tampak genangan besar cairan hitam berminyak diatas lantai linoleum di sebelahnya. Jake mendengar suara debam yang pelan. Langkah kaki? Ia mendengar suara garukan tadi. Lalu debam pelan lagi. Ya. Suara langkah kaki. Ia tersadar dirinya tidak sendirian lagi. “Si-siapa itu?” ia berseru. 18 SEORANG cewek melangkah keluar dari balik bayangan di dekat pintu. “Hei—” seru Jake terkejut. Cewek itu tampak pucat, kurus. Rambutnya yang dikucir kuda panjang, lurus, dan berwarna tembaga. Ia mengenakan T-shirt putih panjang dan celana pendek merah. “Hai,” sapanya lembut. Ia melambaikan tangannya dengan kaku dan maju beberapa langkah mendekati Jake yang tengah berdiri di tengah ruang makan. “Kau juga tersesat?" Suaranya serak dan berbisik. Jake menatap cewek itu. “Apa? Tersesat? Tidak.” “Oh.” Cewek itu menggigit bibir bawahnya. “Kayaknya aku tersesat nih. Maksudku, aku tak tahu ke mana harus pergi. Kurasa—” “Aku sedang memeriksa ruang makan ini,” Jake memberitahunya “Aku tak menyangka ada orang di sini.” “Wah, berantakan sekali ya tempat ini,” cewek itu berkata, matanya yang hijau dan lebar menyapu seluruh ruangan. “Kau siapa?” tanya Jake. Ia memberitahu Jake bahwa namanya Mindy. “Aku dari Coronado. Itu lho, kota tetangga.” Jake memperkenalkan diri. Dan kemudian ia menambahkan, “Ayahku Emory Banyon. Aku kurang lebih sedang membantunya.” Mindy mengangguk. Ia terus menatap lantai. Jake bisa melihat cewek itu pemalu. “Aku seharusnya jadi pemain figuran,” cewek itu menjelaskan. “Aku dan segerombolan teman. Orang-orang itu datang ke Coronado dan mengatakan membutuhkan anak-anak untuk main di film. Jadi kami datang kemari.” Cewek itu mendesah dan menarik ujung T-shirtnya. “Tapi kusangka mereka sedang syuting di bawah sini. Aku terpisah dari yang lainnya, dan-” “Tidak. Hari ini mereka cuma merekam bagian luar gedung sekolah,” Jake memberitahu. Mindy menengadah menatap Jake. “Apakah kau bermain di semua film ayahmu?” Jake tertawa. “Tidak. Aku tak pernah bermain dalam satu pun filmnya. Ia membiarkanku membantunya di film yang satu ini.” “Aku benar-benar gugup,” aku Mindy. “Aku belum pernah ikut main film. Dan kata mereka, aku akan mati dibunuh Johnny Jerit pada adegan pertama.” “Dia orang baik,” ujar Jake. Mata cewek itu membelalak lebar. “Apa? Johnny Jerit? Tapi dia itu kan setan zombi yang jahat.” Jake tertawa. “Tidak dalam kenyataan. Ini kan cuma film, ingat? Kau tak perlu gugup karena harus mati dibunuh. Semua itu cuma permainan efek.” Cewek itu mengangguk serius, seolah-olah memikirkan ucapan Jake. “Akan kutunjukkan jalan keluarnya,” Jake mengusulkan. Ia melangkah ke pintu ruang makan. “Jadi, kau trnggal di kota tetangga?" Mindy mengangguk. “Yeah. Dulu kami tinggal di sini, di Silver City. Tapi semua orang meninggalkan kota ini...“ Suaranya menghilang. Jake berhenti di pintu dan berpaling pada Mindy. “Mengapa semua orang meninggalkan kota ini?” desaknya. “Kau tahu kenapa? Kenapa sekolah ini ditinggalkan begitu saja?" Matanya menatap Jake lekat-lekat. “Kau benar-benar ingin tahu?” tanyanya parau. “Ya,” sahut Jake “Aku ingin tahu.” “Kau yakin?” Mindy bertanya lagi. “Kau harus tinggal dua minggu di sini lho. Apakah kau yakin ingin tahu apa yang terjadi di sini?” 19 JAKE sampai harus memohon. Akhirnya, Mindy memulai kisahnya. “Waktu aku masih kecil, Silver City kota yang menyenangkan. Tidak terlalu besar, tapi berkembang. “Penduduk Silver City banyak yang bekerja di pertambangan perak di pegunungan tak jauh dari sini. Banyak turis datang ke kota kami untuk berlibur, sebab di sini ada dua resor besar berbentuk peternakan yang menyediakan segala aktivitas yang berhubungan dengan dunia peternakan. “Silver City adalah kota bergaya Old West, dan orang-orang menyukainya. Ayahku bekerja di perusahaan real estate. Mereka bermaksud membangun mal kecil bergaya western tepat di luar kota. “Semakin banyak keluarga pindah ke kota kami, dan gedung sekolah yang ada jadi tidak cukup untuk menampung semua anak. Kota kami bertekad membangun gedung sekolah menengah yang baru. “Dan saat itulah awal mula seluruh masalah itu. “Aku masih kecil sekali, sehingga tak tahu detailnya. Tapi orang-orang kemudian menceritakan kisahnya padaku. “Orang-orang bertengkar hebat tentang lokasi sekolah itu. Sebagian ingin membangunnya di tempat mal ayahku tadinya mau didirikan. Yang lain ingin membangun sekolah itu lebih jauh lagi di luar kota. “Akhirnya, keputusan diambil. Dan sekolah itu pun dibangun - di atas tanah pemakaman. “Tentu saja mereka sudah menggali makam-makam tua itu lebih dulu sebelum mulai membangun sekolah itu. Mereka memindahkan peti-peti mati dan nisan-nisannya ke bagian lain kota. “Namun orang-orang mati itu tak suka dipindahkan. “Begitulah kisahnya. Dan kami yang pernah tinggal di Silver City mempercayai cerita-cerita itu. “Orang-orang mati itu tidak sudi kuburan mereka dibongkar. Namun mereka menunggu... menunggu dengan sabar di tempat peristirahatan mereka yang baru. “Mereka menunggu sampai sekolah yang baru dibangun. Menunggu sampai sekolah itu dipenuhi anak-anak. “Dan saat itulah hantu-hantu orang-orang mati itu bangkit dari kubur mereka yang baru. “Mereka menyerang sekolah dan menakut-nakuti anak-anak. “Erangan dan lolongan mereka memenuhi semua koridor. Anak-anak menemukan tengkorak-tengkorak busuk di loker mereka. Bangkai-bangkai bajing dan tikus bermunculan di antara makanan kafeteria. “Kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi. Lampu-lampu jatuh menghantam lantai. Pecahan-pecahan kaca jendela beterbangan menyerang murid-murid yang ketakutan. Pintu-pintu loker tiba-tiba terbanting hingga melukai tangan anak-anak. “Para pejabat kota mencoba menjelaskan berbagai peristiwa aneh itu. Namun tak ada satu pun cara yang masuk akal untuk menjelaskannya. “Dan kemudian setan-setan kuburan itu memutuskan bermain kasar. “Salah satu kelas sedang main voli di ruang olahraga. Segerombolan setan kuburan yang sudah hancur dan busuk menyerbu masuk ke dalam ruang olahraga. Mengepung anak-anak itu, menari dan menyanyi. “Semua anak menjerit dan menangis. “Setan-setan kuburan itu mengikat anak-anak itu dengan net voli. Mereka menarik net itu hingga anak-anak terikat erat di dalamnya. Mereka menawan anak-anak itu. “Berita tentang anak-anak yang ditawan itu menyebar ke seantero sekolah. Semua orang kabur dari situ. Gedung sekolah itu langsung kosong hanya dalam beberapa menit. “Semua pergi menyelamatkan diri kecuali anak-anak di ruang olahraga. “Seluruh kota menunggu di luar gedung sekolah. Mereka bisa mendengar suara-suara jeritan dari ruang olahraga. Juga lolongan-lolongan dan nyanyian setan-setan kuburan yang mendirikan bulu kuduk itu. “Polisi mencoba masuk ke dalam gedung. Namun lidah api menyembur keluar dari segala pintu dan jendela. Dan membentuk dinding api yang mengelilingi seluruh gedung sekolah. “Tak seorang pun bisa masuk menyelamatkan anak-anak itu. “Semua orang menunggu... menunggu dengan penuh kengerian, sambil mendengarkan jeritan dan teriakan ketakutan dari dalam sekolah. “Akhirnya, anak-anak itu keluar terhuyung-huyung tiga hari kemudian - pucat, gemetaran, dan lemas. “Tak seorang pun tahu apa yang terjadi pada mereka di ruang olahraga itu. Mereka terlalu takut untuk membicarakannya. Hampir semua dari mereka jarang bicara lagi. “Setan-setan kuburan itu tak pernah meninggalkan sekolah. Mereka mènjadikannya rumah baru mereka Orang-orang yang cukup berani untuk mendekati gedung sekolah bisa mendengar nyanyian dan erangan mereka sepanjang malam. Dan mereka bisa melihat sosok-sosok kelabu dan samar melayang-layang di ruang-ruang kelas yang gelap. “Sekolah itu tak pernah digunakan lagi. Mau tak mau tempat itu ditinggalkan begitu saja. “Orang-orang takut mendekatinya. “Semua orang mulai pindah. Dalam beberapa bulan seluruh kota telah ditinggalkan. Setan-setan kuburan itu mengambil alih - dan mengosongkan seluruh kota.” Sambil bercerita, Mmdy dan Jake berjalan menyusuri kondor yang kosong menuju pintu muka. Jake menghentikan cewek itu saat mereka mencapai kotak trofi di koridor muka. “Kau membicarakan tentang gedung sekolah ini ya?” ia bertanya. “Setan-setan kuburan itu mengambil alih sekolah ini?” Mandy mengangguk serius. “Benar Itulah sebabnya tempat ini sempurna untuk membuat film horor.” “Tapi - tapi -” Jake tak sanggup bicara. “Kau benar-benar percaya cerita itu?” “Tentu saja,” sahut Mindy. Lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah seorang anak cowok tinggi kurus yang berdiri di dekat pintu. “Malah sebenarnya - salah satu setan kuburan itu tengah berdiri di situ!” 20 JAKE terperangah, mulutnya menganga. Ditatapnya cowok itu. Cowok itu menghampiri mereka. Ia mengenakan T-shirt Grateful Dead dan denim hitam. Rambutnya cokelat panjang, matanya hitam, dan giwang perak mungil menghiasi salah satu telinganya. Mindy tertawa “Hai, Gregory.” “Mindy, ada apa sih? Aku mencari-carimu sejak tadi,” Gregory berkata. “Kalian tidak mungkin setan!" sembur Jake. Gregory nyengir. “Jadi, itu ya yang Mindy katakan? Apa lagi yang dikatakannya? Jangan dengarkan Mindy. Dia tukang bohong nomor satu di dunia.” “Bukan. Kaulah yang tukang bohong!” tukas Mindy. Didorongnya Gregory keras-keras. Ia terjengkang, tertawa, dan menabrak kotak kaca tempat trofi. “Apa yang kaulakukan di dalam sini?” desak Gregory. “Menceritakan kisah-kisah hantu pada Jake,” sahut Mindy. Jake memperkenalkan diri pada Gregory. “Kau anak Emory?” Gregory bertanya. Jake mengangguk. “Kau juga berasal dari Coronado?” “Yeah.” Gregory menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. “Aku dan Mindy sekelas. Waktu Mindy memberitahuku bahwa Emory Banyon mencari pemain figuran, aku datang kemari bersamanya. Aku ingin sekali main film.” Ia nyengir. “Melelahkan sekali bekerja di konter makan siang ayahku. 'Anda ingin kentang goreng juga? Anda ingin kentang goreng juga?' Itulah yang kukatakan ratusan kali sehari.” “Tapi caramu mengucapkannya bagus sekali kok,” seloroh Mindy “Berapa lama kau belajar mengucapkannya seperti itu?” Mindy menertawakan gurauannya sendiri. Jake tidak tertawa. Ia tengah berpikir keras, memikirkan cerita Mindy tadi. Memikirkan bagaimana Gregory menyebut Mindy pembohong nomor satu sedunia. Gregory mendorong pintu muka hingga terbuka dan mereka pun berjalan ke luar. “Cerita tadi benar nggak?” Jake bertanya pada Mindy. “Tentang sekolah ini?" Senyum aneh menghiasi wajah Mindy. “Menurutmu bagaimana?” sahutnya berbisik. *** “Ambil posisi, semuanya! Ambil posisi!” seru Sheila. “Aku ingin semua pemain ekstra di tempatnya masing-masing. Tenang, kumohon!” Hari itu keesokan harinya. Sinar matahari yang kuning terang tercurah masuk lewat jendela-jendela ruang makan. Jake berdiri di sebelah Emory, yang tengah sibuk membuat catatan-catatan kecil di clipboard -nya. Jake mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Ia sungguh tak mempercayai perubahan yang dilakukan dalam sehari itu. Ruangan itu sudah dicat dan dibersihkan. Poster dan spanduk-spanduk menghiasi dinding-dinding. Peralatan lampu yang bertengger di langit-langit mengirimkan cahaya putih bersih ke bawah. Kursi dan meja-meja panjang telah digosok mengilap dan disusun membentuk barisan. Makanan yang masih panas memenuhi konter hidangan. Aktris-aktris berseragam putih - kru makan siang sekolah - berdiri di belakang konter, menyendokkan, membaui, dan menyiapkan makan siang. Tumpukan nampan, piring-piring bersih, dan gelas telah disusun di ujung yang satu. Para kru telah mengubah tempat ini menjadi ruang makan sungguhan hanya dalam semalam! Jake tersadar. Diperhatikannya potongan-potongan piza, hamburger, sandwich keju panggang, piring-piring makaroni, mangkuk-mangkuk chili, dan salad. Bahkan makanannya pun betulan! Emory menangkap ekspresi Jake. “Simsalabim... Keajaiban film,” gumamnya, lalu melangkah maju untuk berbicara pada para ABG yang memenuhi ruangan. Jake mencari-cari dua teman barunya. Ia melihat Mindy dan Gregory di meja dekat bagian belakang ruangan. Ia mengacungkan ibu jarinya pada mereka. Mindy dan Gregory melambaikan tangan padanya. “Halo, semuanya,” Emory memulai seraya menggerakkan kedua tangannya supaya semuanya tenang. “Selamat datang di hari pertama syuting kita.” Ia menunduk membaca clipboard-nya, lalu kembali menengadah. “Menurutku kita akan memulai di sini karena adegan ini mudah. Sangat biasa. Tidak ada yang aneh-aneh. Kalau kalian membaca naskah kalian, kalian akan tahu ini hari biasa di ruang makan - sebelum Johnny Jerit dan setan-setannya tiba di sekolah.” Salah satu juru lampu menginterupsi Emory dengan sebuah pertanyaan singkat. Emory menjawabnya, lalu berbalik lagi pada para figuran. “Aku ingin kalian semua bersikap seperti di ruang makan sekolah kalian,” ia memberi instruksi. “Bangkit. Antre. Ambil nampan. Ambil makanan apa pun yang kalian sukai. Mengobrollah. Tertawa. Bercanda. Kalian sudah melakukannya jutaan kali, ya kan? Pasti tidak sulit.” “Pokoknya ingat saja, jangan melihat ke kamera,” potong Sheila “Anggap saja tak ada kamera. Kalian sedang makan siang di sekolah. Ingat itu.” “Oke. Yuk kita mulai,” ujar Emory. “Aku takkan mengadakan latihan adegan untuk yang ini. Soalnya mudah sekali, benar-benar alami. Adegan biasa yang tenang. Akan kita rekam langsung. Dan jangan pikirkan apa yang harus kalian katakan. Silakan bicara apa saja. Kami akan memasukkan suaranya nanti.” “Baiklah, ayo antre, semuanya!” perintah Sheila. “Antre dan ambil nampan kalian. Sekarang, ayo. Semuanya makan siang dengan tenang.” Ruang makan itu dipenuhi suara-suara bersemangat. Kaki-kaki kursi menggaruk lantai linoleum. Para pramusaji mempersiapkan diri. Dinding-dinding memantulkan gemerincing suara nampan dan peralatan makan. Emory bergerak ke sebelah juru kamera. Jake berdiri di sisi lain kamera. Ia menyilangkan tangannya di depan tubuh dan memperhatikan semua aktivitas itu. Beberapa anak sudah mendapat makanan dan kembali ke meja. Sebagian masih antre. Kamera terus merekam. Emory mencondongkan tubuh ke depan, clipboard di pangkuannya. Ia memperhatikan adegan itu dengan penuh perhatian. Selama beberapa menit semuanya berjalan lancar. Lalu jeritan pertama membuat semua orang terkejut setengah mati. Seorang cewek melompat berdiri. “Ohhh.” Ia mengèrang jijik. “Ada sesuatu di makaroniku!” Ia mengangkat benda itu. “Oh, tidak! Jari! Jari manusia!” Jeritan lain berasal dari meja di sebelahnya. “A... aku menemukan jari juga!” seorang cowok terkesiap. Jake memperhatikan dengan mulut terbuka saat Mindy melompat berdiri. “A... aku bakal pingsan!” lolongnya. “Jari kaki - jari sungguhan- di cheeseburger-ku. A-aku sudah menelan satu!” “Ohhhhh.” Erangan-erangan jijik memenuhi ruangan. Seorang cewek berdiri bersandar di mejanya, lalu muntah. Gregory menjerit histeris. “Hidung! Aku menemukan hidung manusia - di chili-ku!” Diangkatnya hidung itu. Sebuah nampan jatuh menghantam lantai. “Cut!” teriak Emory. “Cut!” Ia menoleh memandang Jake. “Jangan takut,” gumamnya. “Semuanya bakal beres.” “Aku tidak apa-apa kok,” sahut Jake pelan. Emory menggeleng-gelengkan kepala sementara erangan jijik dan jeritan-jeritan ngeri terdengar semakin keras. “Ada apa?” gerutu Emory. “Kok bisa begini?” 21 JAKE duduk di seberang Emory di trailer mereka. Mereka sedang minum Coke. AC trailer menjerit dan terguncang. Tapi rasanya nyaman terlepas dari udara padang pasir yang amat panas. “Emory - kau sudah berjanji tidak akan menakut-nakutiku,” Jake berkata seraya menyibakkan rambutnya yang berwarna gelap dan kening. “Aku tahu. Aku tahu,” omel Emory. “Aku sama sekali tak tahu-menahu soal adegan di ruang makan itu. Aku tidak mencoba menakut-nakutimu, Jake.” Emory mengangkat tangan kanannya. “Sumpah.” “Lalu siapa yang mengerjai makanan itu?” tukas Jake. Ia menenggak soda dinginnya banyak-banyak. “Itulah yang sedang kucari tahu!” ujar Emory. “Mungkin orang yang bermaksud bergurau-” “Aku sudah bicara dengan salah satu figuran,” potong Jake. “Dan cewek itu bilang gedung sekolah itu benar-benar angker. Katanya sekolah itu dibangun di atas tanah pemakaman, dan-” “Aku sudah pernah mendengar cerita itu,” gerutu Emory. lagi. “Cerita konyol. Kau tidak mempercayainya - ya kan?” Jake mengangkat bahu. “Entahlah. Aku -” Ponsel Emory berdering. Ta membukanya. “Yeah? Yeah? Tak seorang pun dari para kru makanan? Sudah kautanya semuanya? Kau sudah bicara dengan perusahaan kateringnya?” Ia menurunkan ponselnya dan bicara pada Jake. “Tak seorang pun tahu soal makanan yang dihidangkan tadi. Benar-benar misterius.” Emory kembali ke ponselnya. “Baik. Baik. Aku akan datang. Paling tidak kita harus menyelesaikan sesuatu hari ini.” Ditutupnya ponselnya, lalu dijejalkannya ke sakunya, dan bangkit berdiri. “Kita akan mencoba adegan pemandu sorak di belakang sekolah selagi matahari masih ada. Ayo. Adegan ini pasti mudah.” *** Lima orang figuran telah dipilih menjadi pemandu sorak. Jake melihat Mindy tengah membetulkan rok seragam pendeknya yang berwarna merah-putih saat ia mengikuti ayahnya ke belakang sekolah. Mindy tersenyum padanya ketika Jake sudah dekat. “Asyik, kan?” sembur cewek itu. “Aku dipilih ikut dalam adegan pemandu sorak.” “Hebat dong!” timpal Jake. Emory bergegas memeriksa Sheila dan para kru yang lain. Para pria mondar-mandir dengan sigap, menenteng kabel, memindahkan lampu. Seorang wanita muda sedang berkonsentrasi memasang lensa baru di kamera. “Kau baik-baik saja?” Jake bertanya pada Mindy. “Maksudku, setelah peristiwa di ruang makan tadi.” Mindy mengangkat bahu. “Kayaknya. Tadi itu menjijikkan sekali." “Emory tak berhasil mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi,” Jake berkata. Mata Mindy yang berwarna hijau berkilat-kilat. “Taruhan aku bisa memberitahu dia bagaimana terjadinya.” “Di mana kau akan meletakkan gadis-gadis itu?” Emory sedang bertanya pada seorang kru yang mengenakan kaus sport bertangan pendek dan celana pendek putih. “Di sanakah?” Pria itu menunjuk sepetak tanah luas di balik rerumputan tinggi. “Matahari akan menyinari mereka dari belakang. Akan kelihatan bagus, Emory.” Emory menatap tempat yang dimaksud, lalu mengangguk. “Baiklah. Siap latihan?” “Kapan kita akan mengulangi syuting adegan ruang makan itu?” Sheila bertanya pada Emory. Emory serta-merta memberengut. “Segera setelah kiriman makanan yang baru tiba.” Ia memutar bola matanya. “Mungkin kali ini makanan-makanan itu tidak akan mengandung bagian-bagian tubuh manusia.” Sheila menggelengkan kepala. “Semua itu bukan sungguhan, ya kan?” “Memang,” sahut Emory pahit. “Tapi kelihatannya cukup mirip. Anak-anak percaya itu sungguhan.” Sheila pergi menghampiri kelima cewek yang mengenakan seragam pemandu sorak. “Siap, anakanak ? Kalian tahu apa yang harus dilakukan?” “Kami sudah latihan selama satu jam,” Mindy berkata. “Yah, ayo kita lihat apa yang bisa kalian lakukan.” Sheila berbalik ke Emory. “Mereka sudah siap. Mau lihat?” “Yep. Ayo kita lakukan,” sahut Emory. Dibenamkannya topi bisbolnya dalam-dalam di keningnya. Kemudian ia merangkul bahu Jake dan membimbingnya ke area pengambilan gambar. “Semuanya, ayo kita dengar sorakan kalian,” Sheila memberi instruksi “Yang keras, oke?” Mindy dan keempat cewek lainnya berbaris di tepi rerumputan tinggi. Di belakang mereka tampak samar pegunungan ungu di kejauhan. Seekor elang merah terbang rendah, berputar-putar di angkasa yang terang. Mereka memulai sorakan mereka: “AYO, PENYAMUN! AYO, PENYAMUN! DENGAR JERITAN KAMI! AYO, PENYAMUN! AYO, PENYAMUN! KAMI AKAN MENJERIT LEBIH KERAS LAGI!” Lalu mereka mengulangi sorakan mereka sekali lagi, kali ini lebih keras. Lalu ketiga kalinya, lebih keras lagi. “Bagus sekali,” puji Emory seraya bertepuk tangan. “Kami ingin sorakan kalian keras dan mendirikan bulu kuduk.” Ia berbalik ke arah juru kamera. “Semuanya siap?” Sambil mengintip ke lubang lensa, juru kamera itu mengangguk. “Kelihatannya oke, Emory.” “Suruh mereka mengambil posisi,” Emory memerintahkan Sheila. Sheila membimbing kelima pemandu sorak itu ke tepi hamparan rumput. “Ayo berdiri di atas tanah lapang itu,” ia memberitahu mereka. “Kita akan melatih keseluruhan adegan dulu.” Mindy jalan duluan melintasi hamparan rumput dan menuju tanah lapang. Kelima cewek itu mengobrol dengan penuh semangat. Namun sekonyong-konyong suara-suara obrolan mereka berhenti saat Mindy menjerit. Jake melihat kedua tangan cewek itu terangkat lurus ke atas. Lalu gadis itu terpeleset dan jatuh terjengkang. “Oh - oww!” jerit Mindy. Ia menendangkan kakinya. “Lumpur! Semua lumpur!” Mindy mengulurkan tangan ke salah satu temannya. Cewek itu menarik Mindy bangkit - lalu terpeleset - dan mereka berdua pun jatuh ke dalam lumpur. “Whoa!” Anggota pemandu sorak yang lain ikut terpeleset. Pertama-tama ia berhasil bertahan. Tapi kemudian terjerembap keras ke dalam lumpur. Ia bangkit perlahan-lahan, tubuhnya dilapisi lumpur tebal dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa yang terjadi?” seru Emory seraya menjatuhkan clipboard-nya. “Semua lumpur!” jerit Mindy histeris. “Seragamku - rambutku! Oh, tidak - rambutku! Yaik!” “Tapi, mana mungkin itu lumpur?” sergah Emory gusar sekali. “Sudah beberapa minggu tidak hujan disini!” Salah satu cewek-cewek itu mencoba membersihkan lumpur dari wajahnya, tapi akibatnya wajahnya malah tambah tidak keruan. Cewek di sebelahnya menarik segumpal lumpur kental dan basah dari rambut pirangnya, lalu membuángnya ke tanah hingga menimbulkan bunyi PLOP. “Ini tidak mungkin!” teriak Emory. “Tak mungkin ada lumpur di sini, di padang pasir! Tak mungkin!” Dan kemudian Mindy mengerang pelan. Matanya membeliak lebar dan ia jatuh berlutut. Ia menarik sesuatu dari lumpur. Sesuatu yang licin dan berwarna kelabu. Diangkatnya benda itu dengan tangan gemetaran. “T-te-tengkorak!” ia tergagap. “Tengkorak manusia!” 22 KEESOKAN paginya, lensa-lensa kamera lenyap. Dua kabel listrik utama telah dipotong dua. Kotak trofi di koridor muka sekolah dipenuhi tarantula. Syuting terpaksa dihentikan sementara berbagai perbaikan dilakukan. Sore itu, Jake menemukan ayahnya di belakang trailer mereka. “Aku tak tahu apa yang terjadi di sini,” Emory berkata dengan penuh semangat ke ponselnya. “Mungkin sekolah tua ini benar-benar angker!” Ia berbalik dan melihat Jake berdiri di belakangnya. “Oh, hai.” Dimatikannya ponselnya. “Aku tak melihatmu tadi.” “Apakah menurutmu sekolah ini benar-benar angker?” tanya Jake pelan. “Tidak, tentu saja tidak,” sahut Emory cepat. Namun Jake melihat kelebatan rasa takut di mata ayahnya. “Yah... kalau itu bukan hantu...,” ujar Jake. “Paling-paling orang brengsek yang melakukannya,” Emory berkata seraya melintingkan alisnya yang tebal dengan penuh kemarahan. “Mungkin salah satu kru yang menaruh dendam.” Jake menatap ayahnya lekat-lekat “Anggota kru? Kau benar-benar percaya begitu?” “Jangan memandangku seperti itu!" bentak Emory. “Aku tak tahu apa yang harus kupercaya. Tapi yang jelas aku tidak percaya hantu!” Ditariknya tangan Jake. “Ikut aku. Kita akan memeriksa sesuatu.” Dibawanya Jake melewati para kru yang sedang sibuk bekerja, melewati segerombolan pemain figuran yang tengah menghabiskan makan siang mereka di bawah naungan bayangan gedung sekolah. Dan masuk ke dalam sekolah. Kotak trofinya telah dibersihkan. Tarantula-tarantula itu telah dibawa ke tengah padang pasir. Para tukang kayu memalu dan memotong, bekerja mempersiapkan sebuah ruang kelas untuk syuting. Dengan kepala naik-turun mengikuti setiap langkah dan wajah yang murung, Emory membawa Jake menyusuri koridor yang panjang. Mereka berbelok dan menaiki anak-anak tangga yang berdebu menuju lantai atas Mereka menyusuri lorong panjang lagi, berjalan cepat bersisian. Jake menghentikan langkah saat didengarnya sebuah suara di belakang mereka. Langkah kaki? Emory mendengarnya juga. Ia menoleh. Tak ada siapa-siapa. Mereka berjalan beberapa langkah lagi. Dan kembali mendengar suara itu. Gesekan. Suara langkah pelan. Mereka menunggu, memasang telinga. Gesekan langkah lagi. Kini lebih dekat. Jake menoleh dan berbalik ke belakang mereka. “Tidak ada. Tak ada siapa-siapa,” ia berbisik memberitahu Emory. Emory mengangkat bahu. Mereka berjalan lebih jauh menyusuri lorong yang remang-remang itu. SREK. TAM. Dekat sekali sekarang. Tepat di belakang mereka. Mereka membalikkan tubuh bersama-sama. Dan terkesiap waktu tidak melihat siapa-siapa. “Seram,” aku Jake pelan. “Tenang,” ujar Emory seraya meletakkan tangannya di bahu Jake. “Teruslah berjalan. Tak ada siapa-siapa di sini.” “Tapi aku mendengar—” Jake bersikeras. “Teruslah berjalan.” Emory mendorongnya pelan. “Kurása itu cuma gema.” Mereka mulai melangkah lagi. “Kita mau ke mana sih?” tanya Jake. Sebelum Emory sempat menjawab, mereka mendengar suara tawa. Pelan. Samar, seolah tawa itu datang dari jauh. Suara Jake tercekat di tenggorokan. “Kau dengar itu?” akhirnya ia berkata. Emory mengangguk, matanya membelalak lebar. Dia ketakutan, pikir Jake. Kurasa ia sebenarnya ketakutan. Mereka kembali mendengar suara tawa, kali ini tinggi dan melengking. “Pasti datang dari luar,” gumam Emory. “Pasti suara salah satu figuran di luar sana.” “Tapi mereka kan sedang di bagian depan gedung,” tukas Jake. “Padahal kita di belakang.” Emory menggaruk dagunya. Mereka berbelok dan kembali menyusuri lorong yang panjang. “Tak ada siapa-siapa di gedung ini,” Emory bergumam. “Tawa itu mestinya datang dari luar. Itu lho, suara-suara kan sering terdengar aneh di bangunan-bangunan tua seperti ini.” Jake menelan ludah “Ya. Benar.” Mereka mulai berjalan lebih cepat, seolah-olah berusaha meninggalkan apa pun yang membuntuti mereka. “Aku sedang mencari ruang prakarya,” Emory menjelaskan. “Kupikir kita bisa membuat. adegan seram -” Ia menghentikan ucapannya saat terdengar lagi suara tawa di lorong, yang dipantulkan oleh dinding. Jake mendengar suara-suara. Anak-anak mengobrol. Lalu suara tawa lagi. Ia menudingkan jemarinya. “Da - datangnya dari kelas itu!” serunya. Dilihatnya Emory bimbang. Ia ketakutan, Jake tersadar. Tapi ia tak bisa menunjukkannya. Demi aku. Tawa lagi. Jake mengikuti ayahnya ke pintu kelas. Ia bisa mendengar suara-suara tadi di dalam ruangan itu. Emory menarik napas dalam-dalam - dan mendorong pintu hingga terbuka. Mereka sama-sama melongokkan kepala ke dalam. Ruang itu gelap. Kosong. Bangku-bangku disusun terbalik di atas meja. Keranjang sampah terguling di atas meja guru. Tak ada siapa-siapa di sana. Sama sekali. “Tapi aku mendengarnya,” gumam Emory. Mereka sama-sama menahan napas saat mendengar tawa melengking yang mendirikan bulu kuduk. Dari ruang sebelah. Jake dan Emory berlari menuju asal suara. Emory tiba lebih dulu. Didorongnya pintu hingga terbuka. Sekarang hening. Tak ada siapa-siapa di sana. “Aku tak percaya!” teriak Emory, bulir-bulir keringat berkilauan di kening dan alisnya yang hitam. “Ada apa ini? Siapa yang melakukan hal ini semua?” Jake mencengkeram lengan baju ayahnya. “Emory - kau sudah berjanji padaku.” Emory berpaling, wajahnya amat bingung “Apa?” “Kau sudah berjanji padaku,” ulang Jake “Kau bilang tidak akan mengujiku lagi. Kau bilang tidak akan melakukan apa pun untuk menakut-nakutiku.” “Tapi - tapi -” ujar Emory. “Bukan aku yang melakukannya.” 23 JOHNNY JERIT berdiri bersandar pada sebuah gergaji listrik di ruang prakarya. Setan jangkung bermata perak itu berdiri diam seperti patung Di sekelilingnya para kru sibuk mondar-mandir, menyiapkan perlengkapan tata suara, menyetel lampu, dan memindahkan segala macam peralatan ke tempat masing-masing. Jake berdiri di dekat pintu bersama Mindy dan Gregory serta beberapa figuran lain. “Emory ingin sekali berhasil merekam adegan ini,” Jake memberitahu mereka. “Dia kesal karena banyak waktu telah terbuang.” “Aku tak percaya aku ikut main film bersama Johnny Jerit,” seorang cewek berkata seraya menekan pipinya dengan kedua tangannya. “Maksudku, lihatlah dia. Dia raksasa tulen! Dia cuma berdiri di situ - dan dia benar-benar mengerikan!” Mindy mulai mengatakan sesuatu, tapi. Emory keburu muncul di pintu sambil membawa clipboard. Matanya menyapu ruangan, lalu ia menarik Jake menjauh. “Dengar, Jake, tolong aku, ya,” bisiknya. Ia benar-benar kelihatan tegang, pikir Jake. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. “Jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian itu, ya,” kata Emory seraya melayangkan matanya ke para figuran di ambang pintu. “Maksudku, tentang suara-suara tawa dan anak-anak kasat mata yang kita dengar itu. Kita tidak ingin menakut-nakuti siapa pun - setuju?" “Yep,” sahut Jake. “Jangan takut, Emory. Aku takkan mengatakan apa-apa.” Emory mengangguk penuh rasa terima kasih. Lalu ia buru-buru memasuki seting. “Sudah siap?” Sheila muncul di sisinya. Ia berbalik dan memberi isyarat pada Mindy dan figuran-figuran lain. “Kalian tahu kapan harus masuk?" tanyanya. “Waktu Johnny Jerit menyalakan gergaji listrik itu, kalian berempat langsung berjalan masuk kemari.” “Dan ingat, pertama-tama kalian tidak melihat dia,” Emory menambahkan. “Jadi, jangan melihat ke arahnya. Dan jangan melihat ke kamera.” Emory bicara sebentar pada juru kamera. Kemudian ia bicara sebentar di ponselnya. “Oke, mari kita coba,” serunya lantang. “Mari kita lihat bagaimana jadinya.” Para kru bersiap-siap melakukan tugas masing-masing. Sheila menyuruh semuanya tenang. Jake berdiri di sebelah ayahnya. Ia menoleh dan melihat Mindy, Gregory, dan yang lainnya berbaris dan bersiap-siap masuk. “Oke, Johnny,” perintah Emory. “Lempar kepalamu ke belakang lalu tertawa. Dan kemudian ulurkan kedua tanganmu dan nyalakan gergaji listrik itu.” Johnny Jerit tidak menyahut. Ia tetap berdiri kaku memandangi gergaji itu. “Siap?” tanya Emory. Johnny tetap tak bergerak. “Johnny?” seru Emory, suaranya tercekat. “Kau kenapa?” Masih tak ada jawaban. Johnny Jerit terus mematung. “Ada yang aneh, Emory!” seru Jake. “Apa? A-apa yang terjadi?” sergah Emory tak sabar. Bergegas ia berjalan melewati dua perekam suara dan menghampiri Johnny Jerit dengan langkah lebar. “Johnny?” Dicengkeramnya lengan Johnny. Kuku jarinya yang melengkung terlepas dalam genggaman Emory. Emory ganti mencengkeram bahu Johnny Jerit. Jubah besar setan itu terlepas dan jatuh. Desahan keras memenuhi ruangan. “Tidddaaaak!” teriak Jake. 24 KOSONG. Kostum setan itu kosong. Emory memegang topeng karet itu dengan tangan gemetaran. Jaket dan celana Johnny Jerit teronggok di lantai. “K-kostum itu berdiri di sana tanpa seseorang di dalamnya” ujar Jake tak percaya. Teriakan syok rnenggema di seluruh ruangan. Emory menatap topeng dalam genggamannya. Terus menatapnya... wajahnya tampak ketakutan. Akhirnya ia menoleh pada Sheila. “Ada yang meithat Rad? Siapa yang melihat Rad haei ini? Siapa yang membantunya mengenakan kostum? Siapa. yang meriasnya?” “A-aku tak melthatnya sepagian tadi,” juru kamera berkata. “Kusangka sejak tadi ia berdiri terus di situ.” “Aku juga,” timpal Sheila sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita semua mengira dia berada di balik kostumnya.” Emory tertawa gugup dan melempar topeng karet itu ke lantai. Jake bisa melihat tubuh ayahnya gemetaran. Ia bergegas menghampirinya. “Manusia tidak lenyap begitu saja,” gumam Emory. “Emory - kita keluar saja dari sekolah ini, ya,” bujuk Jake. “Tempat ini kayaknya benar-benar angker. Cuma itu penjelasan satu-satunya.” Emory menatap Jake hampa, bulir keringat yang besar-besar mengalir menuruni pipinya yang pucat. “Ayo kita keluar - kumohon!” rengek Jake lagi. Ditariknya lengan baju ayahnya. “Sebelum sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi.” Emory menggelengkan kepala. “Tidak akan!” semburnya “Aku ini Si Raja Horor! Aku tak bisa membiarkan siapa pun memaksaku meninggalkan seting filmku sendiri” Dan kemudan ia berbisik menambahkan pada Jake, “Aku tak bisa membiarkan mereka melihatku ketakutan.” “Emory tolonglah!” teriak Jake. Namun ayahnya berpaling pada para kru dan berkata lantang, “Siapkan adegan akhir di kelas. Aku ingin mengambilnya sore ini. Dan SEMUANYA pasti beres!” *** “Ayahku tak mau pergi,” Jake memberitahu Mindy setelah makan siang. “Dia keras kepala sekali,” ujar Mindy. “Dia ketakutan. Aku tahu dia ketakutan,” tukas Jake. “Seharusnya dia mendengarkanmu,” kata Mindy lembut. “Kuharap nanti sore segalanya berjalan lancar,”timpal Jake. Senyum aneh merekah di wajah Mindy. Matanya yang hijau berkilat-kilat. Ia tak mengatakan apa-apa. 25 JAKE tahu ada yang tidak beres begitu ia dan ayahnya memasuki kelas. Tubuh Emory langsung kaku. Ia menurunkan clipboard-nya. Matanya menyapu ruangan yang terang benderang itu. Suara desisan yang mendirikan bulu kuduk muncul dan bagian depan kelas. “Sheila?” seru Emory seraya rnenghentikan langkah di depan pintu. “Di mana para kru?” Jake berjalan pelan ke sisi Emory dan memandang isi ruangan. Ia tidak melihat Sheila. Ia tidak melihat satu pun kru di sana. Kamera berdiri di atas penyangga, lensanya terarah pada barisan-barisan kursi. Suara desisan itu semakin keras. Bergulung-gulung dari bagian depan ruangan ke belakang, seperti ombak lautan. “Sheila? Di mana kau?” teriak Emory, suaranya lebih keras lagi, mengalahkan desisan yang membuat orang bergidik itu “Di mana semua orang? Suara seram apa sih itu?” “Semua anak sudah di kursi masing-masing,” Jake berbisik seraya mendekati ayahnya. “Tapi di mana para krunya?” tukas Emory sambil menelan ludah. Desisan yang melengking itu memaksanya menutup telinga. Dan kemudian, perlahan-lahan, para murid pelan-pelan berbalik di kursi masing-masing. Dan ketika mereka berbalik ke belakang kelas, berbalik ke arah Emory dan Jake, wajah mereka yang seram dan busuk pun tampak. Setan. Semuanya setan kuburan. Lengkap dengan kulit berwarna hijau yang bergelantungan dan membusuk. Sepasang mata cekung dalam rongganya yang sudah busuk. Mulut menyeringai tanpa gigi. Lidah-lidah ungu busuk yang bergerak-gerak menyapu bibir-bibir yang telah menghitam. Gumpalan-gumpalan kulit berjatuhan dari pipi dan dagu mereka. Biji-biji mata yang basah jatuh ke meja dan berguling ke lantai. Setan-setan kuburan itu berpaling seraya mendesis, terus mendesis seolah-olah sedikit demi sedikit kehidupan meninggalkan mereka. Tangan mereka terulur, jemari kuning berbonggol-bonggol dan tak berkulit mencakar-cakar udara seolah mencoba menangkap Emory dan Jake. “Tidddaaak!” Jake melompat ke belakang saat erangan ngeri lepas dari leher ayahnya. "Kalian bukan pemain filmku.” jerit Emory histeris. “Siapa kalian? Dari mana asal kalian? Di mana para pemainku?” Setan-setan itu hanya tertawa. Tawa kering tertahan yang tak enak didengar. Emory menjerit sekali lagi saat Johnny Jerit bangkit dari kursinya. Bibirnya yang hitam menyeringai lebar. Ia melesat ke ambang pintu - mengulurkan tangannya untuk mencekik leher Emory. “Kau bukan Rad!” jerit Emory, tangannya terangkat oleh rasa ngeri yang tak tertahankan. “Kau bukan sang aktor!” “Aku bukan aktor. Aku NYATA!” Johnny Jerit berkata dengan suara paraunya. Cekikan jemari kurus keringnya semakin erat. “Aku telah bangkit dari mati! Aku sama sekali bukan aktor! Bukan rekaan!" 26 EMORY mengeluarkan protes tertahan. Ia mengangkat kedua tangannya - lalu menyapukannya ke wajah Johnny Jerit. Jemari Emory terbenam dalam kulit hijau lembek setan itu. “Bukan topeng?” Emory terkesiap dan berbisik lemas. Kemudian semua setan kuburan itu sudah berdiri. Dengan kaki kaku mereka berjalan tersaruk-saruk melintasi kelas. Berdesis... terus berdesis... Berjalan mendekati Emory dan Jake. Jake melepaskan diri dari cekikan Johnny Jerit. Tubuhnya terempas ke dinding di belakangnya. Ia membuka mulut dan menjerit ngeri. “Tidak! Kumohon!” raung Emory. Setan-setan kuburan itu semakin dekat “Tolong! Kumohon!” Setan-setan itu tiba-tiba menghentikan langkah. Desisan mereka juga berhenti. Johnny Jerit mundur selangkah. Ia menurunkan tangannya yang tinggal tulang-belulang dengan kuku kuning melengkungnya. Emory meringkuk di dinding, wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. “Nah, begitulah rasanya,” tukas Jake, tak sanggup menahan seringai kemenangan muncul di wajahnya. “Emory - sekarang kau tahu bagaimana rasanya!” “Apa?” Emory mengangkat kepala. Jake tak tahan lagi. Ia melompat ke meja dan melempar kepalanya ke belakang - lalu berseru penuh kemenangan! Johnny Jerit melepaskan topengnya. Semua pemain figuran melepaskan topeng masing-masing. Mereka tertawa keras, tertawa dan mengucapkan selamat pada Jake. “Itulah ganjarannya karena telah merusak pesta ulang tahunku!" Jake memberitahu ayahnya. “Itulah upahnya karena terus menakut-nakutiku! Sekarang kau tahu siapa pun bisa saja takut!” “Maksudmu... “Emory menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah ingin melenyapkan kebingungannya. “Maksudmu, kau merencanakan semua ini? Semua kejadian seram yang terjadi di sini?” Jake mengangguk senang. “Mindy, Gregory, dan anak-anak lain membantuku. Semua ideku. Tapi aku tak bisa melakukannya tanpa mereka.” Emory kembali menggelengkan kepala, ia benar-benar kagum. “Hebat, semuanya,” akhirnya ia berkata, suaranya masih gemetar dan lemah. “Hebat.” “Akui saja kau tadi ketakutan,” desak Jake. “Ayolah, Emory. Mengakulah. Mengakulah bahwa dirimu takut.” Emory berdeham “Aku memang takut,” katanya. *** Sore itu Jake duduk di sebelah Emory di ruang pemutaran film yang telah dibangun para kru di auditorium. “Kau benar-benar membuatku takut, Jake,” ia mengaku “Tapi aku gembira karena satu hal. Kamera telah merekam semuanya. Adegan kelas yang menyeramkan itu terekam semuanya.” “Aku benar-benar tidak sabar ingin melihatnya,” ujar Jake. Emory menoleh ke petugas proyektor. “Putar adegan kelas itu,” serunya. “Mari kita lihat hasilnya.” Lampu-lampu dimatikan. Proyektor dinyalakan. Sinar lampu jatuh di permukaan layar. Adegan kelas pun tampak. Jake menatap bangku-bangku kelas. Meja-meja. “Di mana mereka?” seru Emory. “Mereka tak ada! Kelas itu kosong!” ujar Jake. “Tapi - tapi -” Emory tak sanggup bicara. Berdua mereka menatap kelas yang kosong melompong itu. “Mereka ada di sana. Tapi bayangan mereka tak terekam sama sekali,” aklurnya Emory berbisik. “Hantu,” gumamnya “Mindy, Gregory - semua temanmu itu, Jake. Mereka hantu sungguhan!” 27 "AYO pergi dari sini!” ujar Emory. Mereka sedang di trailer. Emory sibuk menjejalkan pakaiannya ke dalam koper. “Berkemaslah, Jake. Aku tak ingin melihat tempat angker ini lagi.” “Aku akan segera kembali,” Jake berkata padanya. Ia bergegas keluar untuk mengucapkan terima kasih pada Mindy dan Gregory. “Emory benar-benar ketakutan!” ia memberitahu mereka. Mereka tertawa dan saling mengucapkan selamat, ber-high five satu sama lain. “Dia benar-benar percaya kalian hantu!” seru Jake. Mereka kembali tertawa senang. “Film itu meyakinkannya,” Jake memberitahu mereka. “Ketika dilihatnya tak seorang pun tampak di film itu, ia nyaris mati ketakutan!” “Kita benar-benar pintar!” teriak Mindy. “Ide siapa merekam kelas kosong itu sebelum para figuran mengambil tempat?” “Kurasa ideku,” Jake berkata. “Brilian! Hebat!” ujar Gregory seraya menepuk punggung Jake. “Dan kita sama sekali tidak merekam anak-anak di kelas itu. Cuma kelas yang kosong melompong!” “Jadi sekarang, berkat lelucon pintar kita, Emory percaya pada hantu,” seru Jake kegirangan. “Kalian harus datang mengunjungiku di LA. Aku tak sabar ingin melihat wajah Emory bila kalian muncul.” Mereka tertawa lagi. Lalu mengucapkan salam perpisahan. Jake bergegas pergi ke trailer ayahnya. Sambil berlari, senyum kemenangan terakhir merekah di wajahnya. “Siapa si Raja Horor?” ia bertanya pada diri-nya. “Siapa si Raja Horor?" "Aku!" End Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================